Wednesday, March 22, 2017

Tentang Bayi : Prahara Air Ketuban, Spesialis Fetomaternal, dan Ibu Panikan

Saya tidak pernah menyadari kalau saya ini panikan. Perasaan saya, saya cenderung santai dalam menghadapi hidup. Satu-satunya sumber ke-lebai-an saya (yang saya akui) adalah kalau menyangkut traveling. Saya kurang santai perkara itinerary bahkan cenderung heboh kalau sudah menyangkut perkara jadwal keberangkatan. Apapunlah. Mau pesawat, kereta, bis, travel, endesbay endesbey. Perkara waktu berangkat ini yang sering jadi sumber pertengkaran saya dengan suami dan jadi sumber cekcok juga dengan rekan traveling. Tapi sungguh, diluar perkara traveling saya selalu menganggap diri saya cuek. Bahkan saat harus menghadapi ujianpun (ujian beneran ya bukan ujian kehidupan) saya jarang takut apalagi sampai panik.

Sampai saat hamil sekarang. Saya baru menyadari bahwa saya ini panikan minta ampun. Hahaha!

Ya gimana sih? ada manusia tumbuh dalam tubuh saya. Manusia yang kuat sih insyaallah, freshly descended from heaven gitu. Tapi tetap saja semua hal yang saya lakukan kemungkinan besar akan berdampak padanya kan? Jadi gimana saya nggak panik coba? gimana kalau saya melakukan hal yang salah sampai bikin dia kenapa-kenapa? 😅

Nampaknya faktor pendorong perkara panik ini adalah aliran informasi yang semakin deras. Setiap hari kerjaan saya baca-baca forum-forum ibu hamil dan website-website tentang kehamilan. Belum lagi ngitipin ibu-ibu hamil lain di socmed. Ini saya nggak pakai acara gaul dengan ibu-ibu lain nih. Ibu-ibu di dunia nyata maksudnya. Entah deh apa jadinya kalau ditambah gaul juga. Karena paparan informasi mau tak mau saya jadi selalu membandingkan kondisi hamil saya dengan kondisi "ideal" yang digambarkan di semua sumber informasi tersebut.

Makanan ini. Minuman itu. Olahraga ini. Dokter itu. Metode ini. Vitamin itu. Sakit ini. Pegal itu. Gerakan bayi begini. Ukuran bayi begitu.

Sampai ekstrimnya saya merasa tidak melakukan hal apapun yang benar buat si bayi dan jadi panik sendiri 😴

Tambahan lagi, karena saya selalu membanggakan diri sebagai orang yang well planned, at least untuk perkara kecil ya, kalau hidup mah beda lagi, saya orangnya cenderung jadi tidak suka kalau menghadapi sesuatu yang tidak bisa saya lihat dan kontrol. Maka bisa dibilang kehamilan ini cobaan kesabaran bangetlah buat saya. Karena saya tidak bisa lihat si jabang bayi setiap hari jadi cuma bisa tebak tebak berhadiah saja kondisinya seperti apa dan payahnya tidak bisa memutuskan sendiri apa yang harus dilakukan. Cuma bisa bismillah saja yang saya lakukan baik untuk si bayi. Lain mungkin halnya kalau bayinya sudah diluar dan kelihatan sama saya, mungkin saya nggak akan cepet panik 😂

Kepanikan ini berdampak pada cara saya mempersiapkan kehadiran si jabang bayi. Kalau ibu ibu lain sudah heboh belanja dari bulan ke-7 saya malah takut. Takut jinx. Saya belanja terus terjadi apa-apa. Takut geer lah. Hadeh. Akhirnya sampai sekarang kehamilan saya menginjak bulan ke-8 saya belum beli perlengkapan bayi sama sekali. Maafkan ibumu ya nak.   

Terlepas dari beberapa kejadian besar ini dan itu yang merubah hidup selama 8 bulan terakhir, sebenarnya alhamdulillah saya tidak punya masalah berarti dengan kehamilan ini. Yah paling sakit sakit sedikit. Masih wajarlah mengingat segala hal di tubuh saya yang bergeser, bergerak, dan membesar untuk mengakomodasi bayi.

Bayi saya syukur berkembang sesuai dengan milestonenya. Tidak lebih tidak kurang. Inshaallah. Oleh karena itu biasanya pemeriksaan dokter yang saya jalani berlangsung dengan singkat. Hanya sekitar 30 menit dan saya sudah diperbolehkan pulang.

Semua berjalan lancar-lancar sampai pada pemeriksaan bulan ke-7.

Pada jadwal pemeriksaan bulan ke-7 dokter saya yang biasa sedang pergi liburan. Karena saya sudah lama tidak periksa akibat ini dan itu, akhirnya saya memutuskan memeriksakan diri ke dokter lain yang masih ada dalam naungan klinik kandungan di RS yang sama. Berbeda dengan hasil pemeriksaan sebelumnya, dimana hasil pemeriksaan selalu menyatakan all is well, saat itu dokter menyatakan kadungan saya bermasalah. Air ketuban terlalu sedikit. Tapi dokter tidak terlalu panik. Saya dianjurkan untuk minum minimal 3 liter air sehari. "Nanti kan nambah sendiri" katanya menenangkan.

Karena setiap harinya saya sudah minum sekitar 2 liter dan saya memang tidak punya masalah dengan perkara minum jadi saya santai saja. Selama sebulan berikutnya saya minum banyak. Susu, air kacang hijau, air putih, jus, semua saya gelonggong. Yakin dong saya kalau si air ketuban bakal baik-baik saja.

Ternyata di pemeriksaan bulan ke-8 air ketuban saya tambah bermasalah.

Dokter saya yang biasa lagi-lagi sedang tidak ada di tempat karena sedang mengikuti conference. Akhirnya saya memutuskan untuk memeriksakan diri dengan dokter yang lain lagi, karena saya sudah cukup panik untuk harus menunggu sehari lagi saja. Kepanikan kali ini dipersembahkan oleh gerakan bayi yang saya rasa kurang dari seharusnya. Bagaimana gerakan bayi yang seharusnya, sebenarnya saya juga tidak tahu. Tapi dalam alam pikiran saya ini bayi geraknya sedikit pasti ada apa-apa (panick attack) 😅 

Kali ini dapat dokter yang cukup senior. Konon katanya super spesialis bedah kandungan. Tanpa banyak babibu, saat melakukan pemeriksaan dokter menyatakan air ketuban saya sudah sangat minim. Bayi saya tidak berkembang dengan begitu baik (bayinya terlalu kecil mungkin karena plasentanya sudah tidak bagus) dan kemungkinan besar harus dikeluarkan lebih awal.

Panas dingin dong saya mendengar segala hal tadi. Segala ketakutan saya jadi valid. Tuh kan apa gw bilang! Something's wrong 😩

Suami saya yang biasanya nggak panikan sampai ikutan panik karena lihat saya panik. Hari itu saya diminta ikut tes NST (Non Stress Test) atau dalam istilah bahasa Indonesia Tes Kesejahteraan Bayi. Gunanya untuk melihat apakah si bayi masih bahagia di dalam sana. Kalau sudah tidak bahagia, mau tidak mau dia harus dikeluarkan atau istilah medisnya terminus ((((TERMINUS)))). Ngeri nggak sih denger istilahnya?

Tekanan darah saya sampai melonjak ke 140 saking deg degannya waktu dites NST. Padahal tesnya cuma memonitor detak jantung dan pergerakan bayi selama kurang lebih 20 menit tapi rasanya sudah seperti langsung disuruh operasi saat itu juga.

Alhamdulillah hasil tes hari itu baik. Si bayi masih bahagia dan boleh tetap tinggal di perut saya. Dokter juga cuma sekilas melihat hasilnya sebelum menyuruh saya pulang dan kembali lagi minggu depan.

Seminggu yang sungguh lama. Mana saya nggak ada kerjaan. Makin paniklah. Tapi saya mencoba bersikap tetap waras dengan tetap minum banyak dan makan makin banyak. Dalam hati saya kalau ini bayi terpaksa harus dikeluarkan sebelum waktunya paling tidak berat badannya harus cukup. Jadilah seminggu itu saya makan lebih banyak dari biasanya 😅

Akhirnya waktu pemeriksaan tiba. Sudah panas dingin dari pagi. Untungnya hari itu dokter saya yang biasa ada jadi saya sedikit lega. Sedikit.

Dokter saya yang biasanya lempeng kalau melakukan pemeriksaan hari itu memperlihatkan ekspresi prihatin. "Wah iya air ketubannya sedikit ya. Kenapa ya?" Ujarnya sambil menggoyang-goyang tongkat sonografi di atas perut saya. Makin panas dingin dong saya. Saya yakin kalau saat itu tensi saya diukur pasti sampai 140 lagi. 

Kata dokter, ia perlu masukan lain tentang kondisi saya. Air ketuban sedikit bisa disebabkan oleh kondisi bayi yang organnya tidak berkembang sempurna. Karena tidak merasa cukup ahli dalam bidang itu, dokter merujuk saya ke dokter spesialis fetomaternal. Apa itu fetomaternal? jadi ternyata di bidang kedokteran kandungan ada orang-orang yang khusus menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari bayi yang masih ada dalam perut. Apa bedanya dengan obgyn biasa? nah bagian itunya saya tidak tahu. Tapi karena dokter saya yakin sangat membutuhkan masukan seorang ahli di bidang tersebut untuk mengambil langkah selanjutnya, jadi saya turuti sarannya. Pergi menemui ahlinya. 

Spesialis fetomaternal yang jadi rujukan konon katanya adalah salah satu profesor ternama di bidang kandungan. "Saya perlu pendapatnya, kan kalau dia profesor. Matanya pasti lebih tajam". Baiklah saya percaya saja, walaupun tentang mata lebih tajam itu sih tergantung nasib saja nampaknya. Mau profesor atau tidak. Karena faktanya salah satu profesor di tempat kuliah saya malah hampir tidak bisa melihat karena penyakit glukoma. 

Sorenya saya dan suami langsung pergi ke daerah seberang kota untuk mendatangi klinik pak profesor dokter. Jadi profesor ini praktek di rumah sakit rumah sakit besar ternama kota Bandung pada siang sampai sore hari dan di klinik pribadinya pada malam hari. Selama perjalanan jantung saya berdebar super kencang. Bagaimana kalau begini bagaimana kalau begitu.

Ternyata klinik pak profesor tidak terlalu besar dan pasiennya juga tidak sebanyak yang saya bayangkan. Dalam 45 menit saya sudah diperiksa oleh dokter. Walaupun kliniknya kecil dan gedungnya agak-agak tua, peralatan pak profesor ternyata lebih canggih daripada yang ada di rumah sakit tempat saya biasa memeriksakan diri. Saya sampai kagum karena alatnya bisa mengeluarkan kurva seperti yang yang ada di pelajaran kalkulus. Wow wow wow. Selain itu bisa melakukan analisis sendiri seperti yang ada di film film. Wow wow wow (Ndeso biasa periksa di RS biasa bukan RS canggih ibu dan anak) hahahaha! 

Hasil pemeriksaan mata tajam pak Profesor? semua masih dalam batas normal. Bayi saya masih berkembang normal, air ketubannya masih cukup, dan posisinya sudah bagus. Memang air ketubannya agak sedikit dan bayinya agak kecil tapi tidak ada yang urgent. Alhamdulillah. Saya dan suami baru bisa tersenyum setelah pak profesor menyampaikan pendapatnya. 

Setelah menebus obat pelancar aliran darah yang by the way subhanallah ya mahalnya. Kami pulang dengan perasaan yang jauh lebih lega. Di jalan saya telepon dokter saya yang biasa, menyampaikan hasil pemeriksaan pak profesor. Sebelum telepon ditutup saya dinasehati oleh dokter saya untuk tidak terlalu panik "Santai saja Restu. Kita akan berusaha sebaik baiknya, tapi yang terpenting kan yang di atas. Berdoa saja. Tenang saja, bayi kamu ada yang jaga. Pemiliknya yang diatas. Jangan terlalu panik ya kasihan bayinya". Baik bu dokter saya usahakan 😬

Sebenarnya saya cukup beruntung karena punya akses kesehatan, kesejahteraan, dan informasi yang cukup mumpuni dan mungkin jauh lebih baik daripada yang bisa didapat oleh sebagian besar ibu-ibu hamil lain di Indonesia. Well mungkin bukan yang termahal, terbagus, atau ter ter lain. Tapi sebenarnya cukup untuk meyakinkan diri bahwa semuanya akan berjalan dengan baik. Rasa panik yang sering saya rasakan harusnya bisa lebih diredam. Tapi sebagai ibu hamil pertama kali apalagi di umur yang sudah tidak bisa dibilang muda, yah cukup tua untuk kepikiran segala hal tapi belum tua-tua amat sampai bisa berpikir bijaksana dan bersikap kalem, mau tak mau kadang saya jadi panik. Hahaha!

Padalah menurut pengalaman sebenarnya tidak ada gunanya juga sih panik untuk hal-hal yang tidak perlu. Cuma bikin tinggi tensi saja dan bikin orang lain ikutan panik. Apalagi kalau panik saya suka jadi berbuat yang tidak-tidak, seperti olshop membabi buta tanpa pikir panjang (alesan)😛

Kalau panik saya cenderung lupa, seperti yang selalu diingatkan oleh suami. Namanya anak ya hanya titipan. Ada pemiliknya yang lebih absolut. Penciptanya. Penjaganya. Kita hanya bisa memantaskan diri dan menjaga baik baik apa yang sudah dititipkan. Perkara nasibnya ya hanya bisa pasrah saja. Berdoa semoga diberikan yang terbaik 😇

Sekarang sih saya cenderung pasrah saja, terima saja deh ketentuan Yang Maha Kuasa. Tambah doanya, tetap makan enak, dan minum banyak. Semoga ini bayi baik baik saja sampai seterusnya. Amin ya Allah Amiin! Mengusahakan diri agar tidak cepat panik
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Selama bayinya masih gerak-gerak dalam perut dengan gembira. Huhuhuhu! #TetepPanikanTernyata
Read more ...