Wednesday, November 16, 2016

Tentang Bayi : Dr. Joice, Suster Bingung, Suami yang Terlupakan, dan Ramuan Ajaib

Saya memutuskan untuk periksa kehamilan di Rumah Sakit Advent Bandung. Kenapa? As simple as karena saya pernah dirawat di sana dan makanannya enak. HAHAHAHAHA! #IbuAmatir.

Bukan deng, saya memang agak malas ke rumah sakit khusus bersalin karena menurut saya penuh. Yaiyalah, kalau sepi kan malah ngeri ya. Apalagi sampai harus antri berjam jam demi periksa dengan dokter populer. Nggak deh terimakasih. Menurut saya karena kehamilan ini proses natural jadi ya asal kondisi kita normal-normal saja, dokter kandungan mana saja bisa ngasih tahu apa yang harus dilakukan. Yah tidak menutup kemungkinan ada dokter kandungan yang ngawur atau kejam sih, tapi intinya saya tidak mau menghabiskan waktu untuk kebanyakan baca review. Tembak di tempat saja, pikir nanti.   

Saya pilih Dr. Joice dengan alasan praktis : beliau praktek hari Senin-Kamis dari jam 8-15. Jadi perkiraan saya karena beliau dokter tetap dengan waktu praktek panjang, antriannya tidak akan menggila. Tidak banyak review tentang Dr. Joice di internet, tapi karena saat itu yang ingin saya tahu hanya apakah saya betul hamil atau tidak, jadi saya tidak begitu pusing perkara review. Apalagi saya tidak menemukan satupun review buruk tentang beliau. Yah saya sih mikirnya, kalau namanya dokter spesialis kandungan kan paling tidak pasti tahu lah hamil tidaknya seseorang plus normal atau tidaknya kandungan. Ya iyalah orang sudah khususon susah susah belajar parkara itu sampai bertahun-tahun. Kecuali mungkin dokternya ketiduran saat pelajaran "mendeteksi kehamilan dan normal atau tidaknya kandungan", nah itu baru mencurigakan. 

Tapi saya yakinnya sih Dr. Joice nggak tidur waktu pelajaran-pelajaran itu. Kalaupun ketiduran kan bisa pinjem catatan (naon sih!). Jadi ya sudahlah kita percayakan saja pemeriksaan bayi sama beliau. 

Tanggal 19 Oktober pergilah kami ke Advent. Pagi-pagi supaya sepi. Kami mendaftarkan diri sebagai pasien non asuransi. Ya iyalah, orang tidak punya asuransi. Tanpa babibu di meja pendaftaran saya langsung bilang ingin periksa dengan Dr. Joice. Proses pendaftaran tidak rumit, dalam 30 menit kami sudah duduk manis di ruang tunggu poliklinik kandungan.

Tidak lama saya dipanggil suster jaga. Ditimbang berat badan (yang bikin suami mendelik waktu tahu berat saya), dan diperiksa tekanan darah (alhamdulillah normal). Suster juga tanya kapan hari terakhir menstruasi terakhir saya. Saya jawab 15 Juli (karena catatan saya bilang begitu) dan saya ingatnya juga begitu. Si suster mencoret coret catatannya. Menghitung-hitung. Nampaknya bingung. Karena kalau dari hitungan hari terakhir menstruasi terakhir harusnya kehamilan saya sudah masuk minggu 15 atau dengan kata lain sudah trimester 2. Tapi sepertinya suster menilai saya tidak nampak seperti orang hamil 15 minggu karena perut saya belum begitu melembung (kecuali gara-gara lemak) dan saya tidak terlihat kepayahan (mungkin?). 

Sampai tiga kali suster menanyakan hari terakhir menstruasi terakhir saya sampai saya hampir saja menyerah dan mau bohong saja bilang tanggal 17 agustus gitu biar sama seperti hari kemerdekaan atau 14 agustus supaya Boden Powell bangga. Tapi akhirnya saya lebih memilih untuk bertindak bijaksana dan menjelaskan kalau siklus datang bulan saya memang lama dan tidak teratur. Mendengar penjelasan saya suster masih tampak bingung jadi saya disuruh menunggu lagi sementara ia bertanya pada suster yang lebih senior.

Sambil menunggu saya disuruh banyak minum sampai ingin buang air kecil. Okelah saya nurut saja, minum yang banyak. 

Waktu di Jerman, setiap kali saya ke dokter kandungan, sebelum bertemu dokter, biasanya saya disuruh ambil sample urine dan sample darah untuk dites. Jadi saya pikir waktu saya disuruh minum yang banyak, saya bakal disuruh tes urine.

Setelah rasa ingin buang air kecil muncul, saya panggil suster. Suster menyuruh saya masuk ke dalam ruang periksa. Suami tetap duduk saja tenang-tenang di sofa, karena dia pikir saya cuma tes urine saja. Ternyata saya dibawa ke ruang USG. Sambil melakukan USG, suster yang ini juga terlihat bingung. Mungkin lagi-lagi karena kekurang cocokan minggu kehamilan saya seharusnya dengan besar janin yang terlihat di layar (yang ini saya cuma bisa menduga sih, soalnya terus terang saya tidak bisa membedakan mana janin mana perut mana pundak lutut kaki (loh?). Berkali kali suster menggeleng-gelengkan kepala tanpa berkata apa-apa, sampai saya penasaran dan bertanya " kenapa sih sus? nggak ada bayinya?" yang dijawab suster dengan "ada sih...tapi sebentar ya saya telepon dokter dulu" kemudian tanpa babibu pergi beneran sambil menelepon. 

Hampir 15 menit menunggu, datanglah ibu dokter. Tanpa kenalan, tanpa ngomong apa-apa langsung dengan sigap melakukan USG. "Wah sudah besar ini bayinya" ketik ketik, srat sret srat sret "9 minggu".

Mendengar hal tersebut saya cuma bengong. Apalagi waktu bu dokter memperdengarkan detak jantung bayi "Tuh, detak jantungnya".

Karena waktu test pack pertama, test pack canggih 11 euro made in Germany menyatakan usia kandungan saya 2-3 minggu, saya pikir usia kandungan saya waktu ketemu dokter, tiga minggu setelahnya, paling baru sekitar 5-6 minggu. Hal yang pertama terlintas dalam pikiran saya, mblaik kalau 9 minggu berarti ini bayi saya ajak part time dong Agustus kemarin :)))

Otomatis saya langsung bertanya "Tapi normal kan dok bayinya? soalnya.." yang langsung dipotong oleh dokter dengan "yaaaa...ini kan proses ya, saya tidak bisa bilang ini normal atau tidak, masih panjang".

Mungkin dokter mengira saya menanyakan ini bayi bisa lahir normal atau tidak, padahal yang ingin saya tanyakan ini bayi normal atau tidak kondisinya sesuai umurnya, soalnya lagi lagi saya kepikiran kan waktu masa-masa gawat dia saya ajak part time dan keliling Pompeii :|

Akhirnya saya bilang saja terus terang sama dokter kalau saya baru pulang dari luar negeri dan ini pertama kalinya saya lihat si jabang bayi. Malahan ini pertama kalinya saya yakin kalau saya hamil :)))

Dokter akhirnya paham kekhawatiran saya. "Sejauh ini oke kok" katanya. Saya menanyakan perkara hari terakhir menstruasi terakhir saya yang tidak sesuai dengan usia kandungan, dokter bilang wajar karena siklus saya lama mungkin waktu bulan Agustus, sesaat sebelum telur berguguran, telur sudah terlanjur dibuahi jadi nampak seperti tidak dapat dua bulan. 

Dr. Joice ternyata orangnya tidak terlalu banyak berbicara, cuma menanyakan vitamin yang sudah saya minum dan memberitahu jadwal kontrol berikutnya. Ditulislah resep vitamin tambahan yang harus saya tebus. Saya bertanya tentang berat badan saya yang overweight dan kekhawatiran saya kalau saya bakalan terlalu besar dan hamilnya jadi berisiko. Dokter bilang "ya sudah bagaimana lagi, namanya juga hamil. Jangan banyak makan gula dan minyak biar tidak terlalu besar"

Kemudian saya bertanya obat batuk apa yang bisa saya minum, soalnya saya sudah dua minggu batuk, dan dokter menuliskan resep obat batuk alami. Sunkist, grapefruit, lemon hijau, bawang putih, bawang bombay. Direbus. Disaring airnya, minum 3 kali sehari dua sendok makan. Udah kayak ramuan ajaib.

*Btw obatnya manjur juga loh, walaupun rasanya nggak karu karuan :)))*

Setelahnya, karena walaupun saya tau malu bertanya sesat di jalan tapi saya betul betul sudah tidak tahu mau tanya apalagi dan dokter juga sepertinya tidak punya sesuatu lagi yang ingin disampaikan, akhirnya setelah 10 menit saya pamit pulang.

Sampai di ruang tunggu lagi saya baru ingat. Lha ini suami kok ditinggalin aja diluar. Nggak lihat bayi kan jadinya. Begonya saya, waktu lagi menunggu dokter untuk USG saya bukannya minta tolong suster untuk manggil suami supaya datang menemani, saya malah tenang-tenang saja berbaring sambil ngantuk. Hehehe!

Dasar amatir. Ya lain kali aja ya bayi dilihat live sama ayahnya :))))
Read more ...

Tuesday, November 15, 2016

Tentang Bayi : Made In Germany Built Up in Indonesia

Bulan Juli kami memutuskan untuk pulang ke Indonesia, bulan Agustus saya terlambat datang bulan. Tapi ya, karena siklus bulanan saya memang cenderung lama dan kurang teratur saya cuek saja. Mungkin kecapekan saja pikir saya. Bulan Agustus itu memang saya kerja sampingan jadi pengganti orang yang liburan summer (urlaubsvetretung). Hampir setiap hari saya kerja 4-6 jam. Cari uang buat jalan-jalan sebelum pulang sekaligus tabungan buat di Indonesia. 

Akhir bulan Agustus saya iseng-iseng testpack, hasilnya negatif. Jadi saya lanjutkan saja kesibukan saya tanpa banyak pikiran :P

Bulan September, hampir sebulan penuh saya sibuk menjamu tamu. Teman saya datang. Mertua datang. Hampir tiga minggu penuh kami jalan-jalan keliling keliling. Berlin, Roma, Napoli, Budapest, dan Vienna. Angkat angkat koper kesana kemari. Lari lari mengejar bis, kereta, trem, metro. Malah waktu mengunjungi Pompeii kami sempat memutari kesembilan sektor kotanya tanpa ragu-ragu. 

Sementara itu si bulan belum nongol juga. Saya masih tidak curiga. Ah paling juga kecapekan pikir saya, namanya juga satu bulan ini sibuk ampun-ampunan. Satu-satunya yang bikin saya agak heran adalah saya jadi agak cepat capek, kadang-kadang sampai merasa tidak punya energi lagi. Tapi lagi-lagi karena saya orangnya nggak suka merasa rasa jadi ya dianggap hanya kecapekan biasa. Bagaimanapun selama jalan-jalan setiap hari kami bisa menempuh jarak hampir 10 km dengan berjalan kaki. Pastilah capek. 

Minggu terakhir di bulan September kami habiskan untuk persiapan pindah kembali ke Indonesia. Sortir barang-barang, packing, wrapping, timbang, atur ini atur itu. Janjian ini janjian itu. Si bulan belum nongol juga. Saya jadi agak curiga. Jangan-jangan hamil beneran ini.

Akhirnya suatu subuh saya memutuskan untuk testpack. Dan hasilnya jreng-jreng :


Hari itu hampir 4 kali saya testpack. Pakai testpack 10 cent-an plus pakai testpack canggih 11 euro-an yang bisa memberitahu usia kehamilan. Walaupun false positive sangat jarang terjadi tapi ya tetap saja agak ragu. Lha wong saya sudah 4 tahun bolak balik testpack hasilnya negatif. Nggak nyambung ya? :))


Test pack canggih bilang saat itu usia kehamilan saya 2-3 minggu.

Kami memutuskan untuk tidak memberitahu siapa-siapa terlebih dahulu. For the sake of our insanity. Masalahnya pertama kami baru akan pulang pertengahan Oktober, dan dari awal Oktober terpaksa mengungsi ke rumah teman di Belanda, karena kontrak rumah di Jerman sudah habis. Kedua kami sudah tidak bisa bikin janji dengan dokter kandungan, karena minimum waktu janjian adalah 3 minggu. Sementara waktu kami di Jerman tinggal 5 hari. Jadi kami cuma bisa pasrah, apapun yang terjadi, karena semua tiket sudah dibeli dan semua urusan sudah diatur.

Intinya demi kewarasan bersama a.k.a mengurangi kekuatiran berlebih oleh pihak-pihak VVIP di Indonesia, kami memutuskan untuk menyimpan dahulu berita ini sampai jelas semuanya. Hal terbaik yang bisa kami lakukan demi si bayi adalah beli vitamin hamil yang pernah direkomendasikan oleh dokter kandungan saya di Jerman (Femibion) dan mencoba mengatur pola makan dan tidur sebaik-baiknya selama ada di kondisi "sementara".

Di Amsterdam kami berdua sempat sakit. Suami flu sampai demam, saya flu dan batuk. Teman-teman kuliah  yang kami tumpangi di Amsterdam, sampai prihatin karena dua minggu di sana kerjaan kami cuma ngeruntel di sofa bed. Lelah ntaaann...lelah... Hahahaha!

Alhamdulillah ini bayi baik sekali. Walaupun selama di Amsterdam ibunya sempat super males makan (kejadian langka nih buat saya), tapi tidak sampai mual berlebih atau muntah muntah. Jadi segala makanan masih bisa masuk. Susu, coklat, keju dan sebagainya yang suka bikin eneg juga, walaupun kadang-kadang harus disogok sebotol Mogu-Mogu lebih dulu, biar mualnya agak hilang. Ini bayi orang Indonesia sekali nampaknya, tidak hobi makanan bule, maunya cepat lari ke warteg saja.

Tanggal 15 Oktober akhirnya kami pulang ke Indonesia. Besoknya sesampainya Jakarta, kami menemukan berkah di rumah eyangnya suami ada satu ayam utuh Suharti. Langsung deh ludes hanya oleh kami berdua. Hahahah! Sampai eyang komentar "Ini anak dua kasihan amat, susah makan kali ya di Eropa, kok kayaknya kelaperan banget" :)))

Well, welcome back to Indonesia, welcome back my appetite, dan sampai sekarang saya nggak pernah males makan lagi :P
Read more ...

Tuesday, November 8, 2016

Aufwiedersehen Deutschland!

Bulan Juli 2016 kami mendapat kabar kalau beasiswa suami diputuskan untuk tidak diperpanjang (programnya sendiri memang cuma tiga tahun). Mengingat Phd suami belum rampung, ada dua opsi yang bisa kami ambil : tetap bertahan di Jerman sampai suami lulus atau pulang ke Indonesia dan suami meneruskan studinya jarak jauh. 

Kami berdua yang cukup absurd perkara masa depan akhirnya menetapkan pilihan hanya berdasarkan hitung hitungan finansial yang cukup sporadis. Bertahan di Jerman akan lebih berat daripada pulang ke Indonesia dengan suami bolak-balik setiap 2 atau 3 bulan ke Jerman untuk seminar, presentasi, dan sebagainya. Karena untuk bertahan tinggal di Jerman yang bisa kami lakukan paling kerja sambilan dan ngutang sambil hidup super irit. Sementara di Indonesia suami bisa kerja rada beneran, saya bisa proyekan, kami bisa numpang, mungkin sedikit ngutang, dan nggak perlu irit-irit amat :))

Banyak teman, baik orang Jerman maupun orang Indonesia, mempertanyakan keputusan kami untuk pergi meninggalkan Jerman. Wajar, karena sebagian besar orang, dengan alasan finasial, kesempatan, kenyamanan dan keteraturan, memilih untuk, bagaimanapun caranya, bertahan sementara kami dengan santainya memutuskan untuk pulang. Tidak ada alasan - alasan gegap gempita seperti nasionalisme, tekad membangun negara dan sebagainya yang melandasi kepulangan kami. Pulang ya karena kami sudah tidak bisa tinggal di Jerman. Sesederhana itu hehe!

Apakah sedih meninggalkan Jerman? Di sinilah kadang saya merasa beruntung karena saya cukup tidak berperasaan cuek. Hidup di Jerman, Indonesia, atau dimana saja bagi saya sama saja. Apalagi bagi saya Eropa sekarang bukan lagi tempat dalam angan-angan. Kalau mau nabung dan berusaha insyaallah bisa kembali lagi, untuk liburan :P

Alasan lain yang mendorong kami untuk lebih memilih pulang adalah suami tidak betah tinggal di luar negeri. Suasana yang sepi, jauh dari keluarga, dan rutinitas yang membosankan membuatnya tidak bahagia dan nampaknya sering berharap diam - diam untuk kembali saja ke Indonesia. Index kebahagiaannya meningkat tajam karena "terpaksa" pulang. Terbukti dengan langsung tidur nyenyak di malam hari setelah kami memutuskan untuk pulang, setelah sebelumnya sempat selama hampir 4 bulan tidur tak nyenyak dan pasang tampang seperti banyak pikiran. Oleh karena itu ketika keputusan mengenai beasiswanya keluar, saya tidak banyak bertanya mengapa, walaupun keputusannya sendiri agak diluar dugaan dan cukup membuat kaget banyak pihak. Hati kecil saya tahu ini doa tak terucap suami yang dikabulkan oleh Allah. Lupakan urusan kualitas hidup yang lebih tinggi, kenyamanan, keteraturan, dan habla-habla. Bagi suami, dia jauh lebih bahagia ada di rumahnya sendiri :) 

Banyak yang bilang, andaikan kami punya anak selama di Jerman pasti akan terasa jauh sekali bedanya, membesarkan anak di luar negeri dan di Indonesia. Mungkin saja sih. Karena kalau hanya berdasarkan standar hidup kami berdua yang notabene sudah dewasa tinggal dimana saja ya sama saja. Tapi yah rejekinya anak-anak kami nanti nampaknya tidak akan dilahirkan dan dibesarkan di luar negeri. Jadi ya sudahlah tidak ada gunanya juga bertanya-tanya. Hehe!

Pada tanggal 15 Oktober 2016 kami pulang ke Indonesia setelah tiga tahun tinggal di negaranya para kanselir. Dan disinilah saya sekarang, duduk manis mengetik blog ini. Bahagia-bahagia saja alhamdulillah. Belum kangen Jerman, belum galau ingin kembali. Sedang ruhezeiten-lah istilahnya. Sampai nantilah sibuk kembali :)))

   
Read more ...