Sunday, January 25, 2015

Indonesien? Kein Ahnung!

Untuk negara yang terlihat dengan jelas di peta dunia, bagi kebanyakan orang yang saya temui di Jerman, Indonesia sama tidak terlihatnya dengan gajah dalam peribahasa gajah di pelupuk mata. Atau jangan jangan mereka tidur waktu pelajaran Geografi. Tak Tahulah. 
Kurang kelihatan apa coba Indonesia ini?. Bahkan kalau mau nama resminya bisa ditulis dengan lengkap di atas gambar wilayahnya, tidak seperti tulisan nama-nama negara Eropa barat yang harus umpek-umpekan, sampai ada yang hurufnya harus dikecilin atau namanya ditulis di luar batas bagian wilayahnya :)))
Saking kurang terkenalnya Indonesia ini, sebagian besar orang yang saya temui salah mengira Indonesia adalah negara lain. Beberapa orang salah mengartikan Indonesia sebagai Tunisia kemudian mengajak saya bicara dengan bahasa Arab. Beberapa mengira Indonesia sama dengan India. Ibu ibu Yunani yang mengajak saya ngobrol di Ubahn bahkan bercerita panjang lebar mengenai kecintaannya pada film India. "Sie sind sehr romantisch", ungkapnya, tanpa mengindahkan saya yang berusaha menjelaskan bahwa Indonesia tidak sama dengan India. Sigh, kalau ibu itu tau film Indonesia kebanyakan masih dipenuhi hantu hantu (walaupun mungkin ada yang romantis), saya yakin ibu itu langsung kecewa. 

Dan mungkin karena Indonesia benar-benar tidak pernah diajarkan di pelajaran Geografi di sini, kebanyakan orang kaget ketika saya bilang penduduk Indonesia ada 280 juta orang. " How come I never heard (about) a country that big?", kata orang Jerman yang menyapa saya di halte Ubahn. Iya saya juga heran, kok situ nggak tau, batin saya. 

Sekali dua kali ada yang mengenali Indonesia karena musibah tsunami yang terjadi tahun 2004. Tapi kebanyakan mereka tidak tahu bahwa hanya beberapa lokasi di Indonesia yang terkena dampak tsunami. Mereka pikir seluruh negara hancur tergulung ombak. "Kami punya 17.000 pulau , tidak semuanya terkena tsunami", kata saya menjelaskan. Kebanyakan dari mereka hanya mengangguk angguk. Sepertinya 17.000 pulau terlalu banyak bagi mereka. Yah gimana lagi, di eropa ini memang jarang ada laut, hanya ada satu daratan luas yang tidak terlihat tepiannya. Hehehe! 

Oh ya, bukan hanya asal negara saya yang cukup menarik perhatian orang lain, nampaknya agama saya juga cukup membuat orang penasaran. 

Beberapa kali di tempat umum atau di tempat kerja sambilan saya disapa orang dan ditanya apakah saya muslim. Pertanyaan yang konyol menurut saya karena jelas-jelas saya pake hijab. Seorang teman kerja yang orang Jerman bahkan pernah bertanya kenapa saya pakai kopftuch (penutup kepala), "Memang kamu tidak kepanasan?" tanyanya. 

Tapi setelah saya pikir-pikir nampaknya pertanyaan tersebut sering terlontar karena saya terlihat "kurang familiar" di mata orang-orang tersebut. Maklumlah, muslim di Jerman kebanyakan berasal dari arab, turki, atau afrika. Muslim Asia timur seperti saya yang menggunakan hijab, cukup jarang ditemui, tidak seperti di negara Eropa lainnya seperti Belanda atau Perancis. Nampaknya bagi sebagian besar orang yang bertanya pada saya, fakta bahwa ada bangsa lain di dunia ini, di luar jazirah Arab dan Afrika, dimana ada penduduknya yang memeluk agama Islam dan menggunakan hijab merupakan hal yang tidak terpikirkan oleh mereka. Bahkan oleh sesama muslim.

Sebelnya, hanya karena saya pakai hijab, beberapa orang Jerman yang saya temui tanpa babibu langsung menyimpulkan saya orang Turki atau orang Arab. Payahnya karena orang Turki di Jerman ini ada banyak yang masih malas bicara bahasa Jerman (dan hampir semuanya sama sekali nggak bisa bahasa Inggris), walaupun sudah puluhan tahun tinggal di sini, saya jadi sering kena getahnya : diajak orang ngomong pakai bahasa isyarat...

...atau dikira tidak bisa baca alphabeth seperti kebanyakan imigran dari arab. Suatu kali pernah ada orang Jerman bertanya pada saya, bagaimana cara saya menulis di handphone. Dia mengira karena saya menggunakan hijab, saya pasti orang Arab dan pasti menulis menggunakan huruf Arab. Pada awalnya pertanyaan itu saya tanggapi dengan menunjukkan keyboard di smarthphone saya (saya pikir karena dia cuma pakai handy alias telepon genggam non smartphone, dia tidak tahu kalau sekarang ada keyboard tanpa tombol. Hehehe!). "Oh" katanya kecewa setelah dia tahu huruf yang saya pakai sama banyaknya dan tidak jauh beda bentuknya, dengan huruf yang ia gunakan untuk menulis.

Karena akhir akhir ini media barat cukup sering mengungkit soal Islam, yang sayangnya sering disajikan secara negatif, beberapa kali saya ditanya oleh orang mengenai Islam dan isu-isu yang beredar... 

Dua orang (non muslim) teman saya di tempat kerja sambilan pernah menanyakan apakah ada orang Kristen di Indonesia. "Ja, natürlich", jawab saya. "Di sana ada semua agama. Kristen, katholik, hindu, budha. Bahkan yang tidak beragama juga ada". " Apakah oke memeluk agama selain Islam di negara kamu?" tanya mereka lebih lanjut, mungkin sedikit penasaran karena berita berita mengenai kelompok militan yang melarang orang lain beragama selain Islam. " Ya tentu saja, Indonesia negara demokrasi. Wir sind einer der weltweit Größten Demokratischen Land!", kata saya memberitahu bahwa Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.

Kembali ke topik tentang Indonesia, tentu saja negara tercinta ini bukannya tidak dikenal sama sekali.  Beberapa orang yang pernah bertanya tentang asal negara saya tahu tentang Indonesia. Satu dua orang pernah pergi ke Jakarta, beberapa lagi pernah pergi ke Bali atau Lombok. Kebanyakan dari mereka menyatakan sangat menyukai Indonesia. "Kamu punya sinar matahari sepanjang tahun" mereka bilang "...dan makanan yang enak". Yayaya...soal makanan saya setuju sih. Makanan di Jerman memang kurang nendang buat lidah yang sudah kenal berbagai macam bumbu. Yah, kecuali roti-rotinya sih, yang emang enak pake banget.

Anyway, sudah setahun saya meninggalkan Indonesia. Sudah mulai kenal berbagai macam orang, tidak hanya orang Jerman sendiri tapi juga pendatang dari berbagai negara. Sedikit sedikit saya sudah "mengedukasi" orang-orang tersebut tentang Indonesia. Yah paling tidak mereka sudah tahu ada negara bernama Indonesia, yang penduduknya 280 juta, jauhnya 20 jam naik pesawat dari Jerman, dan orang-orangnya dilimpahi matahari sepanjang tahun.

Alhamdulillah, penduduk Jerman kebanyakan orangnya fair, walaupun tampangnya sedikit kurang ramah (baca: jutek). Hihihi! Jadi saya tidak pernah punya masalah karena latar belakang saya sebagai orang Indonesia ataupun muslim. Semoga seterusnya begitulah. Amin :D
Read more ...

Tuesday, January 13, 2015

Log Out

Beberapa bulan terakhir, kegiatan yang saya lakukan pertama setelah bangun tidur adalah mengecek timeline social media. Kegiatan ini saya lakukan dalam interval yang cukup sering sepanjang hari dan berlanjut bahkan setelah lampu kamar dimatikan untuk tidur malam.

Gosip, berita, informasi, woro-woro dan sebagainya dan sebagainya berseliweran di layar telepon genggam dan laptop saya setiap saat. Silih berganti tanpa berhenti.

Seperti yang sering dikatakan oleh orang-orang bijak, hal yang berlebihan memang tidak baik.

Begitupun dengan asupan social media saya sehari-hari yang ternyata, untuk saya, porsinya sudah berlebihan.

Semakin saya mengamati semakin saya tenggelam dalam obsesi terhadap hidup orang lain.
Obsesi ini, saya rasakan, mulai berkembang menjadi rasa iri : kok orang lain begini, kok orang lain begitu, kenapa saya tidak begini, kenapa saya tidak begitu.

Iri menyelimuti hati saya sedemikian rupa sehingga tanpa sadar saya terdorong untuk membuat orang lain iri juga. Hehehe!

Layaknya kata - kata "Nikmat yang berkurang karena kurangnya rasa syukur", saya terlalu sibuk menginginkan dan mengangankan nikmat yang dimiliki orang lain sehingga lupa kalau saya sendiri sudah diberi jatah nikmat yang besar.

Puncaknya adalah ketika saya sedang berada di Praha akhir tahun kemarin. Menikmati pemandangan menakjubkan salah satu kota tercantik di dunia yang sedang diselimuti salju, yang terlintas dalam pikiran saya malah : "Ah, orang lain pergi ke tempat yang lebih asyik".


...
...
...
...
Pikiran macam apa ini, batin saya.
Ada yang salah. Ada yang salah. Ada yang sangat salah.
...
...
...
...

Setelah berpikir cukup lama, saya sampai pada kesimpulan, mungkin ada yang salah dengan cara saya mengarungi arus aliran social media. Mungkin saya tidak berenang ke tempat yang tenang dan malahan terseret ombak ke tempat yang terlalu dalam untuk saya.

Ternyata saya belum cukup bijaksana untuk tidak membiarkan rasa iri tertanam dan terpupuk oleh  potongan-potongan kehidupan yang dibagikan oleh orang lain.
Ternyata saya belum cukup dewasa untuk tidak membiarkan hati saya dipermainkan oleh opini opini kecil dalam pikiran saya yang dipengaruhi fragmen-fragmen kenyataan yang belum tentu memperlihatkan kenyataan, seperti yang saya sendiri sering saya bagikan.

Foto mengenai rumah yang nyaman dengan sinar matahari yang cerah masuk melalui jendela (atas), ketika pada kenyataannya di latar belakang jemuran dan barang-barang tak terpakai menumpuk serta debu tebal mengumpul di sudut sudut rumah (bawah).
Oke bagian debunya berlebihan sih. Tapi dapet pointnya kan? hehe!

Hingga pada akhirnya saya memutuskan untuk membatasi diri saya terhadap social media. Tidak sampai berhenti. Tapi mengurangi, membatasi.

Karena saya tidak ingin menghabiskan waktu dalam hidup saya untuk memikirkan apa yang saya tidak punya dan mengecilkan arti apa yang sekarang saya punya.

Karena saya tidak ingin menjadi orang yang kurang bersyukur.

Saya memutuskan untuk log out sejenak dari social media. Sampai saya cukup dewasa menghadapinya.

Note : 

  1. Oh okay, before anyone freaking out and thinking I live my life miserably and unhygienically. Tidak sering ada tumpukan baik cucian maupun debu di rumah saya. Alles sind in ordnung. All is okay. All is well. 
  2. Please don't put advertising comment "Kalau ingin social media bermanfaat, hubungi aja...". Because you got the point not. Hehehe!
Read more ...