Wednesday, February 12, 2014

Berargumen Menggunakan Hati

Akhir akhir ini saya sering melihat orang-orang berdebat (walaupun seringnya dalam bentuk tertulis, bukan lisan). Terkadang topik perdebatan tersebut ada gunanya diributkan, tapi ada juga topik-topik yang sampai sekarang saya bingung kenapa masih terus diperdebatkan, karena menurut saya tidak akan ada ujungnya. Contohnya topik Ibu Menyusui dan Ibu Bekerja. Dua topik yang sebenarnya belum bisa saya ikuti karena saya belum punya anak, tapi saya tidak tahan untuk tidak berkomentar. 

Untuk kasus Ibu menyusui dan Ibu bekerja, saya tidak membela pihak manapun, karena bagi saya mau menyusui atau tidak menyusui, mau bekerja atau tidak bekerja, itu hak asasi masing-masing Ibu, dan bukan sesuatu yang perlu diperjuangkan "kebenarannya"  atau diperlihatkan "keburukannya". Menurut saya semua sisi benar asalkan alasannya baik,  dan salah jika alasannya tidak baik. Hal yang ingin saya komentari adalah adanya argumen-argumen "kurang enak didengar" yang terkadang muncul mewarnai debat tersebut. 

Dulu saya pernah melihat ada yang menulis di forum ibu menyusui, dan saya masih ingat sampai sekarang. "Ibu saya dulu tidak memberikan hak ASI kepada saya, bersyukur sekarang saya bisa memberikan hak ASI kepada anak saya." 

Kemudian ada lagi komentar di forum ibu tidak bekerja, yang juga masih saya ingat sampai sekarang. "Ibu saya dulu bekerja dari pagi sampai malam, sehingga saya lebih sering di rumah dengan pembantu. Saya tidak ingin anak saya mengalami hal yang sama dengan saya dulu, sehingga saya memilih untuk tidak bekerja".

yang muncul di benak saya ketika membaca kedua komentar itu adalah bagaimana kalau Ibu si penulis melihat atau mendengar komentar tersebut? Apa tidak sakit hatinya? Ibu mana yang tidak sedih mendengar anaknya merasa punya kondisi masa kecil yang kurang menyenangkan atau merasa tidak mendapat hak-nya? 

Bagi saya kedua komentar di atas bukannya menunjukkan bahwa si penulis telah melakukan hal yang "benar" dengan argumen yang kuat, melainkan malah menunjukkan betapa sempit toleransi dan betapa rendah empati yang dia miliki, bukan hanya terhadap orang lain, melainkan juga terhadap ibunya sendiri. Nah, argumen atau komentar jenis begini nih yang menurut saya kurang enak didengar dan saya kurang sreg. Hehe! 

Terkadang dalam menyampaikan pendapat kita lupa, tidak semua hal ada kondisi benar dan salah-nya. Bahwa dunia dan kehidupan tidaklah homogen dan orang dengan pilihan berbeda belum tentu lebih buruk atau lebih baik dari kita. Dalam setiap perdebatan ada orang lain dengan hati, perasaan, keinginan, pikiran, pertimbangan, dan hal lain yang tidak selalu dapat (atau perlu) kita mengerti. Saya paham memberitahu orang lain mengenai hal yang menurut kita "benar" adalah hal yang terkadang perlu (atau malah wajib) dilakukan, akan tetapi memberitahu "kebenaran" dengan cara meninggikan posisi diri sendiri dan merendahkan orang lain atau membela hal yang kita anggap "benar" dengan cara menyerang orang lain, atau (yang paling saya kurang sreg) membela pilihan yang diambil dengan cara playing victimmenurut saya adalah hal yang kurang benar karena berisiko melanggar hak atau menyakiti perasaan orang lain. Dimana, menurut pendapat saya,  dengan menyakiti perasaan atau melanggar hak orang lain (baik sengaja maupun tidak sengaja), semua alasan yang melandasi "kebenaran" yang kita bela akan menjadi tidak berarti.

Eits, saya menulis begini bukan karena saya tidak hobi berdebat loh. Tentu saja saya hobi berdebat, apalagi bisa dibilang setengah dari sifat dominan saya adalah melawan. Tanya saja suami saya yang harus meladeni debat tanpa arah saya setiap hari :P

Saat sedang berdebat terkadang toleransi dan empati menjadi hal asing untuk saya. Orang lain salah, saya yang paling benar. Namun, seberapapun semangatnya saya membela pendapat saya, biasanya ketika suasana sudah mereda saya langsung berpikir : Apakah yang saya nyatakan memang "benar"? Apakah alasan saya didasarkan pada fakta yang logis dan ilmiah? bagaimana dengan orang lain? apakah saya melanggar hak-nya? apakah saya menyakiti perasaannya? bagaimana jika saya dihadapkan dengan situasi yang dihadapi oleh lawan debat saya tadi? pertanyaan-pertanyaan ini mengganggu saya lebih daripada topik perdebatannya sendiri karena,  walaupun saya hobi "ngelawan", saya paling tidak suka melanggar hak atau menyakiti perasaan orang lain seperti saya tidak suka hak saya dilanggar dan perasaan saya disakiti. 

Saya tidak bermaksud menggurui melainkan mengingatkan diri saya sendiri. Setiap orang bebas mengemukakan pendapatnya dan perdebatan seringkali merupakan tempat belajar yang menarik. Hal yang perlu diingat adalah : menjadikan semua orang lain memiliki pikiran dan pilihan yang sama dengan kita adalah hal yang mustahil, yang dapat kita lakukan adalah memperlebar toleransi, meningkatkan empati, dan beragumen menggunakan hati :) 

1 comment:

  1. Nice post .. keep blogging :D

    kalo sempet mampir ya :)
    http://catatanasal.wordpress.com/

    ReplyDelete