Sunday, February 23, 2014

Lazy Weekend Cooking : Ketika Brötchen Bertemu Rendang

Hari Minggu yang cerah, Brötchen si roti Jerman bertemu Rendang dari Indonesia :D
Nom Nom Nom! 

Side Note : 
Ada yang bertanya tanya kenapa saya posting blog isinya makanan mulu?
Supaya ibuke dan bapake di rumah, yang hobi baca blog ini, tau anak-anaknya baek baek aja di negeri orang. 
Masih bisa makan enak. Walaupun dengan kemampuan masak terbatas :P

Read more ...

Saturday, February 22, 2014

The Art of Amateur Cooking

Although I'm just an amateur clumsy "tukang ngarang" cook, colorful foods (made from  ingredients "itu itu aja" + instant seasoning + Royco + my imagination) ...
Dari Kiri Ke Kanan : Oseng- Oseng Buncis + Jagung + Daging, Oseng- Oseng Paprika + Daging, Nasi Goreng Kari Beras Basmati + Paprika + Daun Bawang + Bakso Ngarang Alias Bakso Bikin Sendiri.
...never fails me :)

Booyah!
Read more ...

Friday, February 21, 2014

Sekilas Stuttgart : Stadtbibliothek

Karena cuaca cerah, kemarin saya menemani sepupu ke Stadtbibliothek Stuttgart atau dalam bahasa Indonesia Perpustakaan Kota Stuttgart. Perpustakaan ini konon katanya yang paling bagus di Stuttgart dan salah satu yang paling bagus dan lengkap di Jerman. Untuk saya yang jarang ke perpustakaan (mau bagus atau enggak), perpustakaan ini bagus. Kayak di luar negeri :D
Terletak di pusat kota Stuttgart, perpustakaan ini punya halte U-Bahn (tram) sendiri. Jembatan yang telihat di foto paling atas adalah jembatan yang menghubungkan halte U-Bahn dengan gedung perpustakaan. Entah kenapa di sekelilingnya banyak bangunan sedang dibangun. Bagian tengahnya (gambar kanan bawah), kata sepupu saya mirip penjara di film film. Ya emang mirip sih :P

Walaupun bangunannya mirip penjara, perpustakaan ini ramah. Tidak ada penjagaan ketat atau petugas petugas bermuka masam yang berdiri di pojok menjaga buku buku berdebu. Di sini bebas. Semua orang boleh datang dan pergi. Semua orang boleh masuk ke segala penjuru ruangan. Mau baca atau sekedar lihat lihat, belajar, rapat, ngaso atau apapun boleh. Asal nggak berisik macam maen petak umpet atau maen skateboard. Foto foto doang macam saya juga tidak dilarang :D 
Bagian dalam perpustakaan. Kalau saya bilang sih main attraction alias bagian "wow"-nya buat mereka yang suka arsitektur. Keren? yoi! kan saya sudah bilang mirip perpustakaan luar negeri. Hihihi! 

Koleksi bukunya sebagian besar ada dalam bahasa Jerman (ya iyalah). Buku dalam bahasa asing (nggak cuma Inggris doang) juga lumayan banyak. Tapi paling mending kalau bisa bahasa Jerman sih karena jauh lebih banyak buku menarik yang bisa dibaca. 

Asyiknya tidak cuma buku buku "serius" yang ada di perpustakaan ini. Komik juga ada. Roman roman picisan semacam Harlequin juga ada (halah). Intinya di perpustakaan ini, semua orang, dari anak anak sampai nenek nenek, orang asli Jerman atau bukan, serius atau tidak serius, semua bisa menemukan buku untuk dibaca.

Menurut saya hal ini adalah konsep yang menarik (dan sering dilupakan) oleh sebuah perpustakaan.

Seperti kebanyakan fasilitas publik di Jerman, dengan masyarakat yang dianggap dewasa, yang dipentingkan adalah integritas, tanggung jawab dan kemandirian penggunanya. Tidak akan ada yang mengingatkan, memarahi, atau mengurusi orang lain.

Di perpustakaan ini juga begitu, pinjam buku urus sendiri. Mengembalikan buku urus sendiri. Cari buku apalagi, urus sendiri. Makanya di Jerman banyak pengangguran, pekerja tidak banyak dibutuhkan. Lihat saja, bahkan buku buku perpustakaannya bisa kembali ketempatnya sendiri :D

Terakhir, kalau buku-bukunya romantis macam begini, siapa sih yang menolak untuk datang? :)))
Read more ...

Tuesday, February 18, 2014

Ins Kino

"One sweet popcorn please. Small one." Ujar saya kepada ibu penjaga stand snack di Corso. Bioskop berbahasa Inggris di Vaihingen. "Salty?" tanya ibu penjaga balik kepada saya. "No. Sweet" jawab saya. Si Ibu penjaga menatap saya dengan bingung "Hmmm you mean salty?" tanyanya kemudian "Hmmm no... I mean sweet" jawab saya sambil ikutan bingung. Selanjutnya percakapan salty sweet dalam suasana kebingungan masih berlangsung beberapa kali sampai akhirnya si Ibu mengangkat bahu (bahunya sendiri bukan bahu saya) kemudian beranjak ke mesin popcorn. 

Tentu saya heran. Percakapan beli popcorn kan bukan rocket science english. Atau jangan jangan seumur hidup saya salah, sweet itu artinya bukan manis tapi... singkong digoreng. Ya kan nggak ada singkong goreng di Jerman, makanya si Ibu bingung - -".

Sedang menunggu si Ibu membereskan pesanan saya, tiba tiba salah satu orang Jerman yang ada dalam antrian masuk teater di belakang saya menyapa : "Excuse me, did you say sweet...or salty?"  tanyanya sambil menunjuk mesin popcorn  "Sweet" jawab saya sambil mikir ini apa apaan sih. "So you meant not salty?" Lanjut si orang Jerman sambil menekankan pada kata kata not salty. "Ha?" (Bengong dulu satu detik) Ja... of courseI meant sweet. Not salty" jawab  saya kurang yakin. Jangan jangan di era globalisasi sekarang ini sweet beneran singkong goreng artinya. Si orang Jerman mengangguk kemudian berkata sesuatu pada Ibu penjaga snack dalam bahasa Jerman. Si Ibu penjaga snack kemudian beranjak dari mesin popcorn dan mengambil bucket popcorn manis dari bawah counter kemudian memberikannya pada saya yang terbengong bengong. "There's only one sweet popcorn's size. No Small", kata si orang Jerman menjelaskan sambil tersenyum kepada saya yang masih pasang muka bertanya tanya. Saya pun tertawa " Oh...I see, danke schoen" ucap saya berterimakasih  "Bitte schoen" Jawab si orang Jerman sambil masih tersenyum.  

Oh, orang Jerman bisa senyum juga toh. Hehehe!

Read more ...

Friday, February 14, 2014

Do Not Flush Your Toilet Paper Down The Toilet

Sebelum pembukaan Winter Olympic yang diselenggarakan di Sochi Russia, social media dihebohkan dengan keluhan-keluhan jurnalis mengenai buruknya fasilitas yang harus mereka gunakan selama meliput perhelatan tersebut.

Kebanyakan dari mereka bercerita mengenai kondisi hotel yang belum siap. Dari tidak ada air, gagang pintu, jendela, kasur, dsb. 

Salah satu yang membuat saya bingung adalah gambar di bawah ini. 
Pertanyaan saya, apa masalahnya ? Kan memang tissue toilet tidak boleh dibuang ke toilet? kan bikin mampet. :))))

Setelah dipikir pikir, semenjak saya tinggal di Jerman, saya selalu membuang tissue ke toilet. Bukan karena tidak ada tempat sampah, tapi karena hal itu adalah hal yang lumrah (kalau bukan harus) dilakukan di sini dengan tissue toilet. Ini beberapa alasan yang saya tahu : 

Pertama : Kalau kalau ada yang lupa atau belum tau di negara negara barat, membersihkan diri setelah buang air tidak lakukan menggunakan air (toilet kering). Cukup elap dengan tissue saja. Wajarlah segala sisa sisa kotoran menempel di tissue O_o. Karena itu tissue toilet dianggap sampah pribadi, seperti halnya feses dan urin. Tidak ada orang lain yang bersedia membereskan feses dan urin orang asing atau tak dikenal. Yaa…kecuali memang pekerjaannya harus berurusan juga dengan hal hal seperti itu, seperti dokter, suster, petugas laboratorium, tukang bersihin toilet, dan sebagainya. 

Kedua : Karena fungsinya memang untuk bersih bersih, tissue toilet dianggap sampah yang lebih berbahaya daripada makanan basi, karena mengandung kuman yang setara dengan tikus mati. Well mungkin saya berlebihan, tapi karena disini tidak ada (jarang) tikus baik yang hidup maupun mati jadi anggaplah jumlah kuman yang berbahaya itu sama dengan jumlah kuman di tikus mati.

Nah, karena dianggap sampah pribadi berbahaya yang mengandung banyak kuman, petugas sampah tidak mau mengurus sampah tissue toilet. Mungkin beberapa lembar masih oke, tapi setumpuk besar tissue dengan segala kotorannya? mungkin tidak. Lagipula petugas sampah disini tidak mengangkut semua jenis sampah (mengenai sampah nanti saya cerita di postingan lain), melainkan hanya sampah yang sudah ditentukan.

Ketiga : Sistem sanitasi di Jerman atau negara negara maju lainnya, umumnya sudah sangat baik sehingga mampu mengakomodasi aliran sampah padat, tanpa takut bikin saluran mampet. Memang tidak semua tempat di Jerman mengijinkan sampah tissue dibuang ke toilet. Di toilet umum yang terletak di beberapa gedung, terutama gedung tua, dilengkapi peringatan untuk tidak membuang sampah ke dalam toilet, karena sistem sanitasi gedung tersebut masih kuno. Tapi kebanyakan toilet umum tidak menyediakan tempat sampah sehingga satu-satunya pilihan untuk membuang sampah tissue adalah dengan cara menyiram tissue tersebut ke dalam toilet. 

Di Indonesia sendiri masalah buang tissue toilet sepertinya tidak menjadi masalah berarti dan hal ini yang membuat saya bingung "kenapa si wartawan mumet banget".  Akhirnya saya mencoba mencari tahu, ini penjelasan yang bisa saya sampaikan : 

Pertama : penggunaan hanya tissue toilet untuk bersih bersih sepertinya belum menjadi hal yang lazim di Indonesia, karena  umumnya, setelah buang air, orang membersihkan diri  menggunakan air sementara tissue digunakan oleh sebagian orang untuk mengeringkan diri. Jadi kemungkinan besar jumlah limbah tissue toilet di Indonesia tidak sebanyak di negara bule.

Kedua : Tissue-tissue yang dibuang tidak dianggap berbahaya karena kuman yang menempel di sana, mungkin nih ya mungkin, dianggap jauh lebih jinak dari kuman yang menempel di tempat-tempat lain. Ah untuk urusan bahaya karena kuman sih saya yakin orang Indonesia jauh lebih pemberani dibanding orang Jerman. Hehehe! 

Ketiga : Membuang tissue atau sampah padat lain ke dalam toilet malahan merupakan hal yang dilarang atau tabu di Indonesia (:P) karena sistem sanitasi di Indonesia kebanyakan belum mampu mengakomodasi aliran sampah padat sehingga tumpukan tissue di saluran kemungkinan besar akan membuat salurannya mampet dan toilet rusak. Untuk alasan ketiga ini mungkin saya harus bertanya lebih lanjut ke adik saya yang orang Teknik Lingkungan. Tapi nanti nanti lah ya, kalau sudah tidak ada hal menarik lain yang bisa dituliskan. Hehe!

Nah, itulah penjelasan (kalau kalau ada yang merasa perlu penjelasan juga) mengapa si wartawan bingung waktu disuruh buang tissue toilet ke tempat sampah, bukan disiram masuk ke dalam toilet. Hmmmm…atau mungkin yang menganggap si wartawan aneh sebenernya cuma saya ya? hehehe!

Ya sudahlah, anggap saja cerita sambil lalu untuk bahan obrolan ngalor ngidul  atau untuk hiburan kalau kalau ada yang terdampar di Bandara sore ini karena letusan gunung Kelud.

Note: 
Soal letusan Kelud, semoga semua yang di Indonesia tetap kuat, tabah, sehat dan selamat.  Amin. 
Read more ...

Wednesday, February 12, 2014

Berargumen Menggunakan Hati

Akhir akhir ini saya sering melihat orang-orang berdebat (walaupun seringnya dalam bentuk tertulis, bukan lisan). Terkadang topik perdebatan tersebut ada gunanya diributkan, tapi ada juga topik-topik yang sampai sekarang saya bingung kenapa masih terus diperdebatkan, karena menurut saya tidak akan ada ujungnya. Contohnya topik Ibu Menyusui dan Ibu Bekerja. Dua topik yang sebenarnya belum bisa saya ikuti karena saya belum punya anak, tapi saya tidak tahan untuk tidak berkomentar. 

Untuk kasus Ibu menyusui dan Ibu bekerja, saya tidak membela pihak manapun, karena bagi saya mau menyusui atau tidak menyusui, mau bekerja atau tidak bekerja, itu hak asasi masing-masing Ibu, dan bukan sesuatu yang perlu diperjuangkan "kebenarannya"  atau diperlihatkan "keburukannya". Menurut saya semua sisi benar asalkan alasannya baik,  dan salah jika alasannya tidak baik. Hal yang ingin saya komentari adalah adanya argumen-argumen "kurang enak didengar" yang terkadang muncul mewarnai debat tersebut. 

Dulu saya pernah melihat ada yang menulis di forum ibu menyusui, dan saya masih ingat sampai sekarang. "Ibu saya dulu tidak memberikan hak ASI kepada saya, bersyukur sekarang saya bisa memberikan hak ASI kepada anak saya." 

Kemudian ada lagi komentar di forum ibu tidak bekerja, yang juga masih saya ingat sampai sekarang. "Ibu saya dulu bekerja dari pagi sampai malam, sehingga saya lebih sering di rumah dengan pembantu. Saya tidak ingin anak saya mengalami hal yang sama dengan saya dulu, sehingga saya memilih untuk tidak bekerja".

yang muncul di benak saya ketika membaca kedua komentar itu adalah bagaimana kalau Ibu si penulis melihat atau mendengar komentar tersebut? Apa tidak sakit hatinya? Ibu mana yang tidak sedih mendengar anaknya merasa punya kondisi masa kecil yang kurang menyenangkan atau merasa tidak mendapat hak-nya? 

Bagi saya kedua komentar di atas bukannya menunjukkan bahwa si penulis telah melakukan hal yang "benar" dengan argumen yang kuat, melainkan malah menunjukkan betapa sempit toleransi dan betapa rendah empati yang dia miliki, bukan hanya terhadap orang lain, melainkan juga terhadap ibunya sendiri. Nah, argumen atau komentar jenis begini nih yang menurut saya kurang enak didengar dan saya kurang sreg. Hehe! 

Terkadang dalam menyampaikan pendapat kita lupa, tidak semua hal ada kondisi benar dan salah-nya. Bahwa dunia dan kehidupan tidaklah homogen dan orang dengan pilihan berbeda belum tentu lebih buruk atau lebih baik dari kita. Dalam setiap perdebatan ada orang lain dengan hati, perasaan, keinginan, pikiran, pertimbangan, dan hal lain yang tidak selalu dapat (atau perlu) kita mengerti. Saya paham memberitahu orang lain mengenai hal yang menurut kita "benar" adalah hal yang terkadang perlu (atau malah wajib) dilakukan, akan tetapi memberitahu "kebenaran" dengan cara meninggikan posisi diri sendiri dan merendahkan orang lain atau membela hal yang kita anggap "benar" dengan cara menyerang orang lain, atau (yang paling saya kurang sreg) membela pilihan yang diambil dengan cara playing victimmenurut saya adalah hal yang kurang benar karena berisiko melanggar hak atau menyakiti perasaan orang lain. Dimana, menurut pendapat saya,  dengan menyakiti perasaan atau melanggar hak orang lain (baik sengaja maupun tidak sengaja), semua alasan yang melandasi "kebenaran" yang kita bela akan menjadi tidak berarti.

Eits, saya menulis begini bukan karena saya tidak hobi berdebat loh. Tentu saja saya hobi berdebat, apalagi bisa dibilang setengah dari sifat dominan saya adalah melawan. Tanya saja suami saya yang harus meladeni debat tanpa arah saya setiap hari :P

Saat sedang berdebat terkadang toleransi dan empati menjadi hal asing untuk saya. Orang lain salah, saya yang paling benar. Namun, seberapapun semangatnya saya membela pendapat saya, biasanya ketika suasana sudah mereda saya langsung berpikir : Apakah yang saya nyatakan memang "benar"? Apakah alasan saya didasarkan pada fakta yang logis dan ilmiah? bagaimana dengan orang lain? apakah saya melanggar hak-nya? apakah saya menyakiti perasaannya? bagaimana jika saya dihadapkan dengan situasi yang dihadapi oleh lawan debat saya tadi? pertanyaan-pertanyaan ini mengganggu saya lebih daripada topik perdebatannya sendiri karena,  walaupun saya hobi "ngelawan", saya paling tidak suka melanggar hak atau menyakiti perasaan orang lain seperti saya tidak suka hak saya dilanggar dan perasaan saya disakiti. 

Saya tidak bermaksud menggurui melainkan mengingatkan diri saya sendiri. Setiap orang bebas mengemukakan pendapatnya dan perdebatan seringkali merupakan tempat belajar yang menarik. Hal yang perlu diingat adalah : menjadikan semua orang lain memiliki pikiran dan pilihan yang sama dengan kita adalah hal yang mustahil, yang dapat kita lakukan adalah memperlebar toleransi, meningkatkan empati, dan beragumen menggunakan hati :) 
Read more ...