Friday, December 9, 2011

Suatu Siang di Kamboja

Tiba-tiba saya teringat cerita ini :

Sepuluh orang berjalan bersama melintas 3 negara. Vietnam, Kamboja, Thailand.

Saya dan teman-teman baik saya. Hampir dua tahun yang lalu.

Suatu siang, kami menghabiskan pagi hingga siang di komplek Angkor Watt, Siem Reap, Kamboja.

Melihat candi, candi, dan candi lagi. Bosan juga rasanya. Sekitar pukul satu kami keluar dari komplek bermaksud untuk makan siang.

Karena kami semua muslim dan berkantong pas-pasan pilihan makanan yang bisa diambil cuma masakan India, yang sebenarnya juga mahal, tapi paling tidak halal, karena tidak menggunakan daging. Masalahnya tidak semua orang suka masakan India. Saya contohnya.

Berdebat kiri kanan kiri kanan di tengah cuaca yang panas dan berdebu ditambah dehidrasi, satu persatu dari kami mulai cemberut, marah-marah, dan sebagainya. Semua tidak dapat berpikir jernih.

Seorang pengendara tuktuk mengamati kami dari seberang jalan. Saya juga ikut memperhatikan dirinya. Biasa hidup di negara dunia ketiga membuat saya jadi sering curiga.

Pengendara itu mendekat, saya pasang kuda-kuda. "Ma'am, Muslim?", tanyanya pada saya. Saya mengangguk.

"Bilal bin Rabah?", saya mengangguk lagi, Bilal Bin Rabah adalah pengumandang Adzan pertama.

"Looking for eat?", kata pengendara itu lagi sambil memperagakan gerakan orang sedang makan.

"Yes"

"Come with me", menunjuk tuktuknya.

"..." saya menimbang-nimbang, menganalisis. Agak gawat juga kan kalau kami diculik di negara antah berantah, atau ditipu. Lama saya menimbang-nimbang. Bapak itu terus meyakinkan saya dengan bahasa Inggrisnya yang patah-patah.

Akhirnya saya putuskan mari dicoba saja. Toh tidak ada pilihan lain. Saya panggil teman-teman dan saya jelaskan tawaran tukang tuktuk tadi. Tanpa banyak komentar teman-teman sepakat.

Kami diantar dengan tiga tuk tuk menyusuri liku-liku kampung Siem Reap, kota lokasi Ankor Wat. Andaikata saya sedang tidak kepanasan, kehausan, dan kelaparan, saya pasti merasa seperti reporter National Geographic. Hehehe.

Setelah beberapa menit, kami sampai di suatu rumah. Rumah makan Malaysia, saya lupa namanya. Di halaman rumah ada mushola, di sampingnya lapangan tanah dengan anak-anak sibuk bermain bola. Suasananya betul-betul mirip daerah kampung di Indonesia, cuma lebih gersang dan berdebu. Untung saya tidak keceplosan bicara menggunakan bahasa Jawa.

Penghuninya menyambut kami dengan hangat. Disuruhnya kami duduk, disuguhi air putih dan dia langsung menuju dapur untuk menyiapkan makanan, tanpa bertanya pesanan. Mungkin sudah biasa melihat muka-muka wisatawan yang kelaparan. Saat itu kami semua sudah tidak peduli, jika kami ditipu dan sebagainya. Wangi masakan rumahan membuat kami semua terdiam.

Makanan datang. Baru kali itu saya merasakan nikmatnya makan nasi, ikan dan sayur. Masakan sederhana yang biasa saya jumpai di rumah, terasa mewah saat ditemani dengan rasa lapar haus dan panas yang luar biasa.

Kami menghabiskan waktu cukup lama di tempat makan tersebut. Mendengar cerita si empunya, meresapi nikmatnya berpetualang, dan mensyukuri rahmat dari Tuhan atas bantuan yang kami dapatkan.

Perbedaan muka kami saat masuk dan keluar dari rumah makan itu bagaikan mendung dan cerahnya matahari. Bukti bahwa panas, dehidrasi dan kelaparan bisa menghilangkan pikiran jernih. Pulangnya kami bayar masakan itu dengan gembira, walaupun harga masakannya terhitung mahal, tapi kami rela-rela saja.

Saya menulis cerita ini karena saya kangen berpergian. Melihat tempat-tempat baru, mendengar cerita-cerita orang lokal, mencicipi makanan asing, berpetualang dan mendapat kejutan-kejutan seperti kejadian di Kamboja siang itu.

Sigh.

Nampaknya keinginan untuk berpergian harus dipendam terlebih dahulu, sampai saya menuntaskan kewajiban yang tertunda.

Ya ya ya.

Read more ...