Wednesday, October 27, 2010

Kontemplasi Diri

Membaca tulisan teman-teman saya, Batari dan Mona, saya juga mau ikut-ikutan memikirkan kehidupan saya ah...

Saya sudah dua tahun lulus dari ITB dan menghadapi masalah-masalah seperti :

  1. Saya masih harus mikir 2 juta kali sebelum memutuskan beli kambing kurban. Well, saya punya pekerjaan, pekerjaan saya termasuk yang dikategorikan oleh Stanley Bing dalam bukunya 100 Bullshit Job...get paid super well and do almost nothing... hahahaha... masalahnya karena sepuluh ribu sebab, I do do almost nothing and get paid almost none...
  2. Saya sudah puluhan juta kali dikejer-kejer sama orang tua saya buat masuk BUMN, atau Pemkot, atau Pemprov. Secara saya anak Pegawai Negeri Sipil. Supaya kalau ada tetangga yang bertanya anaknya kerja dimana gak susah menjelaskannya. Kerja di perusahaan yang kantornya ada di lantai 4 salah satu masjid terkenal di Bandung jelas bukan pekerjaan yang mudah untuk didefinisikan, dan dimengerti oleh orang kebanyakan. Dikejer-kejer orang tua juga jelas bukan merupakan hal yang paling membuat nyaman di dunia. Banyak perasaan bersalah yang terlibat di dalamnya.
  3. Saya tidak tau kapan saya akan bisa punya mobil, rumah, peralatan-peralatan canggih, dan hal-hal lainnya yang membutuhkan perencanaan finansial. Seperti yang sudah banyak teman-teman saya miliki. Karena saya tidak tahu bagaimana saya bisa merencanakannya. Saya bahkan tidak tahu bagaimana harus merencanakan kehidupan saya di bulan depan. Hehe.

Menghadapi masalah-masalah diatas apakah saya pusing? jawabannya "jelas pusing". Bohong kalau saya bilang tidak pusing. Tapi saya tidak mau playing victim. Toh saya bukan korban. Dipikir-pikir terdampar di Bandung dengan pekerjaan yang tidak jelas adalah konsekuensi dari pilihan saya sendiri, yang malas mencari kerjaan yang jelas dan memilih untuk tidak meninggalkan zona nyaman saya di Bandung. Lagian saya belum pernah benar-benar sampai pada titik dimana saya menyesali pilihan saya ini, karena hal- hal diatas bukan masalah kalau dibandingkan dengan kegembiraan-kegembiraan yang saya dapatkan:

  1. Saya hidup di Bandung yang banyak dikangenin teman-teman kuliah saya.
  2. Saya bisa berangkat kantor kapan saja, sehingga pagi-pagi pun saya masih bisa nulis untuk blog ini. Kalau mau saya bahkan bisa karaoke sampai jam dua malam, di hari kerja, tanpa khawatir besok ditegur karena ngantuk di kantor.
  3. Walaupun pekerjaan saya setengah mati gak jelasnya, gara-gara pekerjaan saya itu, saya sudah keliling ke 24 Provinsi di Indonesia. Lumayan bisa bikin teman-teman saya iri karena kerjaan saya kelihatannya cuma jalan-jalan, paling tidak di halaman Facebook.
  4. Pacar saya, yang sama tidak jelasnya dengan saya, ada di lingkungan yang sama dengan saya, jadi saya tidak perlu pusing dengan keberlangsungan kehidupan percintaan, karena kendala jarak dan waktu. Halah.
  5. Saya masih bisa menyempatkan diri untuk membaca buku-buku cerita fiksi kesukaan saya. Walaupun kadang-kadang saya hanya bisa ngiler melihat buku-buku menarik yang dipajang di toko tanpa saya punya uang untuk membeli.
  6. Saya punya waktu untuk bikin naskah drama musikal Siti Nurbaya.
  7. Saya punya waktu buat mikirin rencana-rencana perjalanan ke tempat-tempat yang disebutkan dalam buku Lonely Planet, 1000 Places You Must See Before You Die. Walaupun saya gak tahu kapan saya punya uang buat benar-benar pergi ke tempat-tempat itu.
  8. Saya punya waktu untuk membaca perezhilton.com, people.com, OMG.Yahoo.com atau laman-laman gosip lainnya tanpa ada boss atau teman yang protes-protes.
  9. Saya punya waktu buat nonton semua serial televisi yang pengen saya tonton tanpa ada yang ribut kerjaan saya belum selesai.
  10. Saya punya waktu buat memikirkan dan memutuskan apakah saya mau mengambil Phd di bidang pakan ternak lele, (seperti oom salah satu teman saya ini) atau bidang-bidang aneh lainnya. Walaupun otak saya, sebagai bagian yang terpisah dengan hati saya, karena keterbatasannya mungkin tidak menyetujui hal-hal menyangkut Phd ini.
  11. Kalau saya mau, saya bahkan punya jutaan waktu luang buat mikirin kehidupan pertanian di Indonesia, atau merencanakan misi penyelamatan Badak bercula satu. Seriusan. Kalau dipikir-pikir berpikir bebas kan salah satu hal yang masih gratis di dunia ini. Selain bernafas mungkin. Jadi beruntung juga saya masih punya kesempatan dapet yang gratisan secara melimpah.

Pada akhirnya, kalau saya terus pusing memikirkan masalah yang saya punya tanpa berusaha mencari jalan keluarnya, atau memikirkan hal-hal yang saya tidak punya, dan cara untuk mendapatkan hal-hal itu dengan mudah, atau terus bertanya mengapa hidup saya begini mengapa hidup saya begitu, mungkin saya akan berakhir seperti ibu-ibu di sinetron-sinetron yang rambutnya disasak, matanya selalu mendelik- delik, dan sering ngomong sendiri, dengan bibir miring-miring. Well, karena rambut saya sudah cukup kusut tanpa disasak, dan saya tidak mau berhadapan dengan risiko darah tinggi karena ngamuk-ngamuk terus, maka cara terbaik yang bisa saya lakukan adalah mensyukuri apa yang sudah saya miliki, dan terus mengusahakan yang terbaik. Toh saat ini, walaupun saya tidak tahu bagaimana saya akan membayar kos bulan depan, saya masih hidup dan sehat. Lagian akhir bulan masih seminggu lagi, lagian kayaknya adik saya masih punya cukup uang buat saya utangin. Lagian kehidupan saya ini kalau dilihat-lihat asyik juga mirip main game. Banyak aral dan tantangannya. Hehe. Sudah ah saya ini tidak pintar berkontemplasi. Doakan saya mendapat pengalaman menarik hari ini. Jadi bisa saya tuliskan disini. Lumayan buat hiburan. Amin.

Read more ...

Wednesday, October 20, 2010

Secangkir Latte Penghilang Trauma

Aku tertegun di pintu masuk warung. Kupikir bagian dalam warung tersebut akan sesederhana tampilan luarnya yang hanya berupa kayu dan bambu. Ternyata bagian luar tersebut hanya gimmick belaka. Mungkin menyesuaikan diri dengan kondisi sekitarnya. Di bagian dalam, warung tersebut jauh lebih modern daripada yang kukira. Bahkan melebihi kedai kopi yang sekilas pernah aku lihat di kota. Tembok berwarna krem yang hangat, beberapa meja dan bangku panjang ala American diner berwarna cokelat yang terlihat nyaman, dapur yang sepenuhnya terbuat dari alumunium dengan berbagai peralatan canggih. Aku sampai berbalik keluar terlebih dahulu untuk meyakinkan diri bahwa aku tidak nyasar ke dunia lain. Haha.

***

(Sumber: freepik.com)

Seorang pemuda menyapaku dari balik counter. Tangannya memegang semacam lap. Sepertinya dia sedang bersih-bersih.
"Hallo,", katanya sambil tersenyum. Mungkin sudah terbiasa dengan kekagetan orang yang masuk ke kedainya. 
"Bisa dibantu?", katanya lagi. 
Aku berdeham dan mengibaskan kepalaku sedikit sebelum menjawab. Menjernihkan kepalaku dari macam-macam pikiran.
"Mobil saya mogok diluar, mau pinjam colokan bisa?", tanyaku sambil memperlihatkan telepon genggamku.
"Oh silahkan, di setiap tempat duduk ada colokan kok", kata si Pemuda sambil mengarahkan aku untuk duduk di salah satu bangku.
"Dibawah", lanjutnya sambil menunjukkan colokan yang ada di bawah masing-masing meja.
"Thanks", kataku otomatis men-inggris seperti layaknya orang-orang kota di elemennya.
"Mau pinjam telepon, untuk telepon bengkel?", pemuda tersebut menawari. 
"Sudah kok, terimakasih", kataku. Pemuda itu mengangguk lalu kembali menekuni hal yang dikerjakannya. Membiarkan aku duduk dengan tenang.  

***
Aku menyetel peralatanku lalu bersiap untuk mengikuti meeting. Si pemuda mengamatiku. 
"Wifi-nya Cafe Hutan passwordnya kopisusuhangat", katanya. 
"Oh thanks", kataku lagi-lagi sambil kebingungan karena warung kopi antah berantah ini bahkan punya wifi
Lalu aku pun mengikuti meeting dengan cukup lancar, walaupun pohon-pohon tinggi melingkupi dan hujan deras mengguyur sekeliling tempatku berada. Bahkan atasanku kaget karena aku bahkan bisa menggunakan internet dengan lancar, setelah aku menyebutkan lokasiku terdampar. Aku pun tak habis pikir dengan kedai tersebut. 

Si pemuda mendekatiku sambil membawa segelas air putih. "Silahkan, biar nggak haus", katanya. 
***

Pesan dari bengkel menyebutkan bahwa ada pohon tumbang karena hujan, sehingga mungkin mereka baru sampai sekitar 1,5 jam lagi. Aku menghela napas panjang. Untungnya tempatku menunggu nyaman. Sangat nyaman malah. Selesai meeting aku memandang berkeliling. Si pemuda sekarang sedang sibuk dengan mesin pembuat adonan. Perutku berbunyi. Ternyata lapar juga. Aku berdiri lalu berjalan mendekati counter. Si pemuda mengalihkan perhatiannya dari apa yang sedang dia kerjakan. 
"Sudah selesai meeting-nya Kak? mau minum atau makan?", katanya sambil menunjuk menu di belakangnya. 
Aku mengamati menu tersebut. Deretan nama kopi yang asing buatku memenuhi sepertiga dari daftar menu tersebut. 
"Hmmmm, hot white chocolatte satu sama bomboloni strawberry 1 ya", kataku akhirnya memutuskan. Sampai sudah lupa bahwa aku ada di tengah hutan bukan di kota. Dimana memesan cokelat putih dan bomboloni adalah hal cukup biasa. 
"Nggak mau sekalian coba kopinya kak?", tanya si pemuda sambil mengarahkan tangannya ke arah deretan mesin pembuat kopi. Aku menggeleng. "Saya nggak suka kopi mas", jawabku. 
"Oh, kenapa?", tanyanya.
"Nggak suka baunya", kataku singkat. Si pemuda mengerutkan keningnya. Bertanya-tanya. 
"Ceritanya panjang", kataku sambil mengangkat bahu.
"Well, we have all day", kata si Pemuda sambil menunjuk ke jendela dimana hujan masih mengamuk. Dia tersenyum, lalu segera beranjak mempersiapkan pesananku. 
***

Secangkir cokelat hangat dan sepiring bomboloni telah tersaji di mejaku. Pemuda tersebut kembali sibuk dengan mesin adonannya. Rasa penasaranku membuncah. 

"Ini tempat apa sebenarnya Mas?", tanyaku. Lalu bingung sendiri dengan pertanyaanku, karena jelas-jelas tempat itu adalah kedai kopi. 
"Maksud saya kenapa bikin kedai kopi seperti ini di sini", kataku menjelaskan dengan hati-hati, takut terdengar aneh. Si pemuda lagi-lagi mengalihkan perhatiannya dari mesin adonannya. Berpikir sejenak sebelum menjawab.
"Karena saya pengen saja kak. Bosan di kota.", jawabnya singkat.
"Memangnya banyak yang mampir sini Mas?", tanyaku lagi.
"Lumayanlah. Apalagi kalau weekend. Ini jalur sepeda terkenal. Di dekat sini ada pintu masuk ke tempat wisata curug juga. Tempat populer untuk hiking", jelasnya. Aku mengangguk-angguk. Karena tidak suka kegiatan outdoor, aku tidak mengetahui mana-mana saja hal terkait kegiatan alam yang populer.
"Sudah lama buka kedai kopinya mas?", tanyaku lagi.
"Lumayan. Tiga tahun kayaknya ya", katanya sambil mengingat-ingat. Setelahnya aku terus bertanya. Tentang instalasi listrik, internet, dan hal-hal teknis lainnya. Sekedar memuaskan rasa ingin tahuku saja. Sungguh anak teknik sekali. Si pemuda meladeni pertanyaanku dengan sabar, sambil terus mengolah adonan di depannya menjadi bulat-bulat bomboloni. 

***
"Nah sekarang giliran kakaknya yang cerita, kenapa nggak suka kopi", akhirnya si Pemuda mengambil giliran untuk bertanya.
Akupun menceritakan pengalaman masa kecil yang menyebabkan aku menjadi trauma pada kopi. 
"Oh begitu ceritanya....hmmmm", komentar pemuda itu sambil berpikir.
"Mau coba kopi yang baunya beda nggak?", katanya setelah beberapa saat.
"Memangnya kopi beda-beda baunya?", tanyaku sedikit skeptis. Si pemuda tersenyum. 
"Kalau dengar cerita kakak, sepertinya kakak trauma dengan bau kopi hitam komersial merk terkenal itu. Bukan dengan semua aroma kopi. Kakak nggak selalu pingsan kalau dekat-dekat orang yang minum kopi kan? Tadi sebelum kakak datang juga saya habis giling kopi. Baunya ada di seluruh ruangan ini. Tapi kakak nggak pusing kan?", jelasnya seperti seorang dosen. Aku menggeleng pelan, sambil ikut berpikir. 

Dari tadi aku mencium bau hangat diselingi aroma manis samar seperti vanilla. Aku pikir asalnya dari adonan yang dibuat si Pemuda. Siapa sangkat itu aroma kopi. 
"Ada banyak kopi yang baunya berbeda jauh dengan kopi merk itu. Tunggu sebentar", lanjutnya.
Pemuda itu lalu berjalan ke sebuah lemari, lalu membuka pintunya. Di balik pintu tersebut berderet toples-toples penyimpanan biji kopi. Sejenak menimbang-nimbang akhirnya dia memilih tiga toples kemudian berkutat dengan beberapa mesin. Sambil bekerja dia terus bercerita mengenai berbagai jenis varian kopi. Sepertinya memang dia sangat mencintai kopi.

***

Setelah beberapa saat pemuda itu menuju ke mejaku sambil membawa 3 cangkir kecil. Dia lalu meletakkan ketiga cangkir itu di hadapanku.
"Bisa coba dicium aromanya dulu baru dicicip", katanya menjelaskan.
"Kasih tau saya kalau pusing ya.", lanjutnya.
Aku ragu-ragu sejenak, tapi memberanikan diri untuk melakukan yang diminta oleh si Pemuda. Perlahan aku dekatkan hidungku ke cangkir untuk menghirup aroma kopi yang terperangkap disana. Mataku otomatis terpejam. Bersiap menghadapi gelombang pusing yang hebat. Bau tajam menyergap hidungku. Tapi tidak aroma khas seperti bau kopi yang kukenal. Kepalaku hening. Tidak bereaksi.
"Aneh", pikirku.
Cangkir kedua dan ketga pun sama. Ada perbedaan wangi dan ketajaman aroma. Tapi ketiganya tidak membuatku pusing. Si pemuda memperhatikan aku. Aku mengangkat muka dari cangkir terakhir dan memandangnya. Dia tertawa melihat ekspresiku. 

"Gimana? masih trauma bau kopi?", katanya dengan mata berbinar-binar. Sepertinya sangat senang karena berhasil membuktikan teorinya.
"Kopi yang membuat Kakak trauma itu terdiri dari campuran 70% Arabica dan 30% Robusta. Komposisi ini menghasilkan rasa dan aroma yang kuat dengan hint asam. Aroma asam tersebut yang membuat sebagian orang dengan penciuman sensitif merasa pusing menciumnya.", Jelas si Pemuda panjang lebar.

"Tapi sepertinya untuk kasus kakak, selain penciuman yang sensitif, otak kakak juga sudah mengasosiasikan bau khas si kopi komersil tersebut dengan kenangan buruk. Jadi secara tidak sadar badan kakak menolak bau tersebut. Mengirimkan sinyal untuk menjauh. Sehingga muncul pusing." Lanjutnya lagi. 

"Cara paling mudah agar kakak bisa menikmati kopi adalah dengan mengelabuhi otak kakak menggunakan kopi dengan tingkat keasaman yang lebih rendah. Bisa dengan memilih biji kopi kualitas terbaik, memilih teknik pengolahan yang mengurangi keasaman kopi, atau mencari komposisi campuran kopi yang labih pas", pungkas pemuda itu.

"Tapi kan cari campuran kopi itu berat, biar aku saja", kata si Pemuda sambil nyengir.  

Aku hanya memandangnya sambil setengah melongo. Siapa sangka aku akan mendapatkan kuliah coffee for dummy atau 101 all about coffee di tempat seperti ini. 

Akhirnya aku memberanikan diri mencicipi salah satu kopi yang menurut aku aromanya paling bisa aku tolerir. Rasa pahit menyergap lidahku, tapi aku tak lagi merasa pusing. Mungkin sudah tersugesti bahwa tidak semua kopi membuat pusing. Setelahnya aku bahkan lebih berani lagi menghabiskan satu gelas kecil latte yang dibuat oleh pemuda itu untukku. Sambil tetap berbincang-bincang tentu saja.  

***
Dua jam berlalu. Hujan sudah selesai ditumpahkan dari langit, menyisakan embun yang menetes ke tanah dan tertinggal di dedaunan. Petugas bengkelpun akhirnya datang. Aku mempersilahkan mereka untuk minum kopi apapun yang mereka suka di kedai si Pemuda. Lalu akupun pulang dengan hati lebih gembira. Mungkin besok aku akan bisa ikutan nongkrong bersama teman-temanku di kedai kopi dan mencoba variasi kopi lainnya.

Mungkin lama-lama trauma kopikupun akan sirna selamanya.

***
Kembali ke tulisan awal.

Read more ...

Kopi Sachet Kenangan Kelam

 Aku melongokkan kepala ke dalam warung kopi tersebut. Mulutku tak sadar menganga. Tak kusangka di dalamnya ternyata ramai sekali. Padahal aku tak melihat satu kendaraanpun terparkir di depannya. Suara geledek menggelegar di langit. Petir berkilat. Aku segera melangkahkan kakiku ke dalam. Sedetik kemudian hujan turun dengan derasnya.   

"Mungkin mereka penduduk sekitar sini", pikirku. Kesibukan terlihat di belakang meja saji. Tiga orang  asyik dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang mengaduk tiga gelas minuman sekaligus lalu menyajikan ke hadapan pembeli, ada yang nampak mencuci piring gelas di pojokan, dan ada yang tak henti menyemplungkan bahan-bahan gorengan lalu mengangkat yang sudah matang dengan tangan yang penuh adonan tepung. 

Karena tidak ada yang bisa aku lakukan, akhirnya aku memutuskan untuk duduk sejenak. Masih ada sejengkal tempat di sudut. Aku menyelipkan diriku diantara dua orang Bapak-Bapak yang asyik menyesap kopi dan mengunyah singkong goreng. Tidak ada yang berbicara. Semua sibuk melayani atau menyantap hidangan di depannya. Aku melihat ke sekeliling, tidak nampak ada peralatan listrik disana. Kecuali radio tua yang sepertinya beroperasi dengan baterai. Jadi kuurungkan niatku untuk nekad mengikuti meeting. Kukirimkan pesan pada atasanku menjelaskan kondisiku. Biarlah aku tidak ditunjuk sebagai pimpinan proyek. Mungkin memang belum rezekiku. Pesan kukirimkan juga ke petugas bengkel. Meminta mereka meneleponku lewat telepon biasa untuk menghemat baterai. 

(Sumber : kompas.com)

Aku kembali mengamati sekelilingku. Selain aku ada 8 pelanggan yang sedang duduk berdesakan di bangku pembeli. Sebagian besar laki-laki. Sisanya ada 1 orang wanita yang sibuk menyuapi anaknya yang terlihat masih balita. Penjual di warung tersebut ada 3. Dua diantaranya, yang terlihat sibuk membuat minuman dan makanan, sepertinya berusia sekitar 40 tahunan, sementara satu orang lagi,yang sibuk mencuci gelas dan piring, nampak seperti remaja. Mungkin keluarga, pikirku. 

Merasa tak enak hati kalau hanya duduk bengong  aku memutuskan untuk memesan sesuatu. Aku mencoba menarik perhatian penjual yang membuat minuman dengan melambai lambaikan tanganku. Tapi si penjual diam saja. Aku mencoba memanggilnya, tapi suaraku sepertinya tenggelam dalam suara gemuruh hujan. Akhirnya aku menyerah. Mungkin mereka sangat sibuk. Suara kencang geledek kembali terdengar. Hanya aku yang terkaget-kaget. Pembeli lain dan penjual tetap tenang meneruskan kesibukannya. 

Tiba-tiba aku merasa lapar. Jadi kuulurkan tanganku, mencoba mengambil gorengan di salah satu piring di meja saji. Gorengan tersebut sangat dingin. Mungkin aku salah ambil yang sudah lama matang. Perutku bergemuruh tanda minta diisi. Dengan cuek aku makan juga gorengan tersebut. Rasanya alot. Kupandangi si gorengan yang bagaikan ban karet. Bahan apa yang mereka gunakan sampai bisa membuat gorengan sealot ini. Tapi kulihat yang lainnya tidak memiliki masalah yang sama. Jadi mungkin aku saja yang salah makan. 

Mulutku terasa kering setelah makan gorengan alot tersebut. Aku mencoba memanggil salat satu penjual, tapi ketiganya bergeming. Kutengok kanan dan kiri. Ada teko enamel dan tumpukan gelas di pojok meja saji, dekat dengan tempat cuci piring. Tak berapa lama, seorang pembeli terlihat berdiri lalu menghampiri teko tersebut dan menuangkan isinya ke gelas. Aku memutuskan berdiri dan mengikuti jejaknya. Mungkin disini ada budaya self service

(Sumber: kompas.com)

Kuharap isi teko tersebut adalah air putih. Tapi ternyata isinya cairan berwarna cokelat muda. Aku ragu-ragu sejenak. kucium aroma dari gelas tersebut. Ada hint aroma kopi tapi hanya samar saja. Hanya saja karena kering mulutku sudah berganti menjadi rasa haus, kuberanikan diri meminumnya. Rasa manis krim dan sekilas pahit kopi meluncur masuk ke mulutku. Ditingkahi aroma melati yang segar. Secara mengejutkan rasanya lezat sekali. Wow minuman apa ini?  Pikirku sambil mengamati gelas berisi cairan tersebut. Mungkinkan kopi dengan creamer rasanya bisa seenak ini? Atau memang selalu seenak ini tapi aku saja yang takut mencoba?

Lalu aku menyadari, sedari tadi kepalaku tidak pusing sama sekali. Padahal melihat kopi-kopi hitam yang diminum pembeli dan juga yang diracik oleh si penjual, seharusnya aku dikelilingi aroma kopi.  Kuhabiskan minumanku dalam beberapa kali teguk saja. Aku melihat bungkusan kopi sachet bermacam merk yang tergantung di atas penjual yang meracik minuman. Mencoba memutuskan merk mana yang menghasilkan rasa kopi enak tersebut. 

Aku memutuskan kembali mengisi gelas dengan minuman yang ada di teko. Saat aku mengangkat teko besar itu, geledek kembali mengelegar. Suaranya bahkan sampai membuat meja saji dan jendela-jendela bergetar. Karena kaget, tanganku tersentak sehingga pegangan teko kopi yang licin dan berat tersebut tergelincir dari peganganku kemudian jatuh kelantai. Tutupnya lepas dan isinya muncrat ke segala arah.  Sebagian besar mengenaiku membuatku jadi basah kuyup.

Lalu samar-samar kudengar ada yang memanggil namaku. Makin lama makin keras. Kali ini aku merasa disentakkan lalu kemudian pandanganku gelap dan aku hilang kesadaran.

***

Perlahan kubuka mataku. Aku ada di sebuah tempat tidur yang asing. Badanku terasa sangat pegal. Di beberapa bagian bahkan ada yang terasa perih. Aku duduk dan memandang sekeliling. Sepertinya aku ada di sebuah fasilitas kesehatan. Seorang perawat menyadari aku bangun lalu menghampiriku. 
"Masih pusing Mbak? Mbak tadi ditemukan pingsan di samping mobil", kata si perawat perlahan-lahan. Dia menyerahkan segelas air putih untukku. Aku mencoba mencerna kata-katanya. Berusaha mengingat-ingat kejadian sebelumnya.
"Tadi saya di ke warung kopi, terus ada suara geledek, terus saya pingsan sepertinya ya?", kataku sambil sedikit tidak yakin. Si perawat memandangku dengan bingung. 
"Mbak sekarang ada di puskesmas desa. Tadi mbak dibawa sama bapak-bapak bengkel, yang nderek mobil mbak, ke sini. Seorang langsung pulang sama mobil mbak, sementara satunya lagi masih nunggu di depan. Kita tadi coba telepon keluarga mbak, mereka sedang menuju kesini".
"Terus warung kopinya?", tanyaku masih sedikit linglung. Si perawat menggigit bibirnya. Mungkin berpikir apakah aku memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
"Mbak mampir warung kopi mana?", tanyanya hati-hati.
"Di dekat mbak pingsan tadi kayaknya tidak ada warung kopi", lanjutnya lagi.
Aku terdiam. Mungkin ingatanku salah. Tapi rasa melati dari kopi di gelas itu masih sedikit tersisa di mulutku. Jadi tadi aku kemana?

***

"Kak, berhenti dulu di sini dong", kataku sambil menunjuk lokasi tempat tadi mobilku mogok, kala mobil kami melaju melewatinya menuju kota. Tidak ada warung disitu.
"Mau ngapain?", tanya kakakku heran.
"Ini tadi tempat mobil aku mogok. Aku mau memastikan sesuatu", jawabku singkat.
Kakakku hanya mengangkat bahu lalu menuruti mauku. Aku turun dengan perasaan campur aduk.

Bekas ban mobilku dan mobil derek masih terlihat di tanah yang becek. Jadi aku yakin ini pasti tempat yang aku datangi tadi. Hanya saja tidak ada sedikitpun bekas adanya warung disitu. 
Bagaikan pencari jejak aku memeriksa jengkal demi jengkal daerah itu dengan teliti.
Kutemukan bertebaran beberapa bungkus kopi sachet yang masih utuh tapi terkubur diantara tanah dan lumpur.

Kopi sachet dengan merk yang sama yang kulihat di warung tadi pagi.

***

Kembali ke mobil aku segera membuka telepon genggamku, mencoba menemukan petunjuk di mesin pencarian. 
Kuketikkan saja "warung kopi alas jati".
Deretan berita muncul. Tajuk utamanya: Kecelakaan Maut di Alas Jati.
Sebuah truk tronton mengalami rem blong dan menabrak sebuah warung kopi di Alas Jati. Sebelas orang meninggal termasuk seorang balita...

Terbaca olehku paragraf pertama. Seketika aku merasa sangat pusing. Di mobil tiba-tiba tercium bau melati. 

Kurasa traumaku bertambah satu lagi.

***

Kembali ke tulisan awal.

Read more ...

Kopi Susu Rahasia dari Pantura

Tampilan di dalam warung tersebut seperti stereotip yang aku pikirkan dari warung-warung kopi di pinggiran jalan pantura. Bangku panjang berbentuk U mengelilingi meja saji sekaligus meja tempat sang empunya mempersiapkan hidangan dan minuman yang dipesan pelanggan. Tak beda jauh tata letaknya dengan kedai kopi kekinian, hanya saja disini satu-satunya mesin yang terlihat adalah sebuah radio. Bukan mesin-mesin pembuat latte dan ekspreso.

Aku mengucapkan salam."Kulo nuwun. "

Sepasang orang tua, laki-laki dan perempuan, menjawab salamku. Keduanya sedang ada dibalik meja saji. Si Bapak nampak sedang mengaduk segelas minuman, sementara si Ibu sibuk dengan wajan penggorengan.

"Mogok mbak?", kata Bapak tersebut tanpa basa-basi, sambil menyuruhku duduk. Dia kemudian mengulurkan gelas berisi minuman yang tadi diracik kepadaku. Padahal aku belum bilang apa-apa. Nampaknya mereka sudah mempersiapkan kedatanganku.

(Sumber: freepik.com)

"Nggih", kataku singkat. Atas dasar kesopanan aku menerima gelas yang Bapak itu berikan.
"Monggo. Diunjuk sek", katanya sambil mengisyaratkan agar aku minum.
"Masalah radiator nopo baterai? Sampun nelepon bengkel?", lanjutnya lagi. 
"Sudah Pak, radiator kayaknya", jawabku sambil masih memegang gelas berisi minuman dari si Bapak dengan kedua tangan. Aku mencium aroma hangat jahe dan manis susu dari minuman berwarna krem tersebut. Juga sedikit aroma kopi. Segera kujauhkan tanganku. 

"Monggo, anget-anget", sekarang giliran si Ibu yang menyodorkan piring berisi pisang goreng panas ke hadapanku. Aku ragu-ragu. Mungkin aku terlalu banyak membaca dan menonton berita-berita kriminal. Mungkin juga aku terngiang-ngiang dongeng Hansel and Gretel. Makan rumah kue jahe lalu ditangkap penyihir. Tapi sungguh rasanya tak sopan kalau aku serta merta menolak, padahal aku sendiri yang datang kesana dan akan minta tolong.

(Sumber: kumparan.com)

Bapak dan Ibu tersebut sepertinya paham dilemaku. 
"Mung Kopi Susu kok Mbak. Ora aneh-aneh", kata Bapak itu sambil tersenyum.
"Sing iki yo mung gedhang kok Mbak", lanjut si Ibu. Kemudian keduanya tertawa.
Aku nyengir. Mari kita pasrahkan saja pada kehendak yang kuasa. Aku memakan pisang goreng buatan si Ibu. Kehangatannya memenuhi perutku. Aku baru ingat pagi itu hanya sempat makan selembar roti tawar karena terburu-buru.

"Mau ikut ngecas HP bisa Pak?", kataku.
Si Bapak berpikir sebentar kemudian mencabut kabel radionya. "Monggo", katanya sambil menunjuk ke kabel extension listrik yang menggantung di dinding. Aku pun menancapkan kabel charger-ku ke sana. Hujan turun dengan deras di luar warung.

***

Sungguh tidak mudah mengikuti rapat online dari tengah hutan. Dengan sinyal yang timbul tenggelam dan suara hujan yang bergemuruh. Aku sama sekali tak bisa mengikuti isi rapat. Setelah 15 menit atasanku mengirim pesan memintaku untuk meninggalkan ruang rapat saja.

Aku menutup laptopku dengan kecewa. Merutuki diri sendiri yang keras kepala. Orang bengkel belum sampai juga. Mungkin terhambat hujan deras.

***
Aku tidak punya hal lain yang  bisa dilakukan selain menunggu. Kopi susu di hadapanku sudah menjadi dingin.

"Nggak diminum kopinya mbak?", tanya si Ibu sambil mengamatiku. "Anak muda sekarang to ya sukanya kopi di kafe-kafe itu aja lho padahal kopi tradisional gini juga nuikmat".
"Saya nggak suka kopi Bu", kataku sebelum Ibu tersebut semakin berasumsi macam-macam.
"Oh lha ngopo?", kata si Bapak, tiba-tiba ikut nimbrung.
"Pusing kalau nyium baunya", jawabku singkat. 
"Walah kok yo aneh-aneh wae", komentar si Ibu. Aku hanya mengangkat bahu.
"Tapi iki nganggo kopine gor suitik Mbak. Ora mambu. Sampeyan jajalen wae", kata Bapak itu meyakinkanku.
"O lha Bapak iki, jenenge wae kopi susu, mosok yo orak mambu kopi", sanggah si Ibu. Si Bapak menyikut si Ibu agar diam. Lalu mengedip padaku. Aku tersenyum.
***
"Bapak ini, sueneng banget ada yang datang ke sini. Makane tadi langsung mbikin kopi susu", Lanjut si Ibu. "Habis ada jalan tol itu lho mbak, yang lewat jadi suepi". 
Aku mengangguk-angguk. Rasanya pernah membaca berita tersebut juga.
"Kemarin pas jaman riyoyo saja, cuma motor yang mampir. Itu juga sehari cuma berapa to. Paling sembilan opo sepuluh", lanjut si Ibu berapi-api.
"Jenenge kuwi jaman wes berubah Bu", kata Si Bapak menenangkan.
"Di sini dulu ruame mbak. Sepanjang jalan wong dodolan. Ono sing jagung bakar, dawet, kelapa muda. Sing dodol cawet wae onok. Weslah, kabeh didol. Saiki yo mung warung iki tok to sing bertahan", Si Ibu melanjutkan ceritanya sambil terkekeh geli.

"Bapak tu dulu mandor di perkebunan karet dekat sini. Lha nek kulo ket mbiyen yo mbuka warung ini. Bar corona iki lho, Bapak di PHK. Lha pripun, wes sepuh juga sih", kata si Ibu sambil menggerling ke arah si Bapak.
"Pengsiun dini orak PHK. Kakehan ngerungoke berita sing orak-orak iki", kata si Bapak menimpali, sambil memandang isterinya dengan gemas.
"Halah podo wae. Kuwi kan yo mung istilah tok. Untung anak-anak wes nggak perlu. Yo mung nggo hiburan wae lah Mbak", pungkasnya sambil tersenyum. 

Pasangan tersebut gantian menceritakan kisah kehidupannya. Dalam perkawinanya yang sudah 34 tahun mereka dikaruniai 3 anak yang saat ini sudah berkeluarga. Tiga-tiganya lulus dari perguruan tinggi negeri di Semarang. Saat ini si Sulung meniti karir sebagai pegawai negeri di Kabupaten Batang. Si tengah bekerja sebagai guru di Kudus, dan si bungsu merantau ke Jakarta dan menjadi teller di sebuah Bank swasta.

"Sing penting iki pendidikan Mbak. Tak belo-beloni 30 puluh tahun kerjo bendino durr, nggo mbiyayai anak-anak. Ibu juga mbuka warung sampe mbengi-mbengi. Kabeh yo ben anak-anak iso sekolah dhuwur", jelas si Bapak.
***
Selama 20 tahun Bapak tersebut menyempurnakan resep kopi susunya, hingga dia peroleh takaran yang pas. Istimewa. Dengan kopi hitam merk tertentu, susu kental manis, sedikit gula jawa, sedikit jahe, dan sedikit cengkeh, jika dia sedang beruntung bisa mendapatkannya di pasar. Semua pelanggannya menyukai rasa tersebut. Menurutnya bahkan ada yang sengaja memilih jalan lama ketimbang tol untuk sekedar meminum kopi buatannya.

Katanya hanya aku orang yang pertama kali menolak meminum kopi istimewa buatannya.  

***
Hujan perlahan mereda. Seorang kakek tua dengan punggung bungkuk datang ke warung tersebut. Di punggungnya ada keranjang rotan berisi daun-daun jati. 

"Entuk katah daune Mbah?", kata si Ibu sambil menyambut si Kakek. "Kopi ireng nopo kopi susu? Gedang? mendoan? nopo tape?", lanjut si Ibu menyerocos sambil membantu si Kakek melepas keranjangnya dan duduk. Kakek tua tersebut hanya mengangguk-angguk. Tangannya memberi isyarat yang sepertinya sudah sangat dipahami si Ibu dan Bapak. Mereka langsung bergerak menyiapkan pesanan si Kakek. 

Sat set. Secangkir kopi hitam kental dan piring berisi pisang goreng dan mendoan disajikan di hadapan Kakek tersebut. Pria tua itu pun dengan lahap langsung menyantap hidangan di depannya. 

***
Tak berapa lama makanan si Kakek habis, tanpa babibu beliau langsung berdiri dan memberikan uang dua ribu ke si Ibu. "Matur suwun Mbah", kata si Ibu sambil menerima uang dari si Kakek. Aku menatap si Ibu bingung. Masa harga pesanannya hanya dua ribu?
"Mbah Kadir wes langganan neng kene suwe Mbak. Ket pertama warung iki buka", jelas si Bapak seperti paham kebingunganku. "Wes sepuh, 100 tahun mungkin onok. Wes lali nek rego-rego munggah kabeh, dipikir koyok tahun 90 an", lanjutnya sambil terkekeh. 
"Tapi yowes, sopo ngerti goro-goro dungone Mbah Kadir uripku karo keluarga tentrem, ayem, ngene. Iyo orak Bu", katanya sambil menoleh ke arah isterinya yang hanya mengangguk singkat. Perempuan itu nampak seperti tiba-tiba ingat sesuatu.
"Pak, jarene kan malaikat sering nyamar dadi wong tuwo. Tapi piye ngertine yo, kuwi Mbah Kadir tenan opo malaikat", tanya si Ibu, sambil memegang lengan si Bapak. 
"Owalah Bu, yo gampang to, nek malaikat ngomonge arab", jawab si Bapak asal.
Aku menyadari dari tadi nyengir-nyengir sendiri melihat mereka.

***
Setelah dua jam akhirnya orang bengkel datang. Sambil menunggu mereka memeriksa mobilku, aku berkontemplasi sejenak. Tenggorakanku terasa kering, tapi aku tak enak hati meminta air putih kepada si Bapak dan Ibu lalu membiarkan kopi susu kebanggaan mereka tak tersentuh. Akhirnya kuberanikan diri menyeruput minuman itu sedikit. Kupejamkan mataku, menunggu rasa kopi yang kukenal menyerangku. Biarlah pusing, toh aku tak akan pulang sendiri, pikirku. Aroma manis melingkupi rongga mulut lalu masuk kerongkonganku. Sedetik dua detik, rasa pusing yang kutunggu ternyata tak datang. Kuberanikan meminum seteguk lagi. Ada sedikit aroma kopi tapi kalah dengan rasa gula yang dominan. Lagi-lagi aku merasa biasa saja. 

Seperti menemukan momen eureka, perlahan aku menghabiskan kopi susuku beserta satu pisang goreng lagi. Lalu sebelum meneruskan perjalanan kembali ke kota, aku mempersilahkan para tukang bengkel untuk ikut menikmati kopi di warung si Bapak juga. Setelahnya aku membayar dengan harga yang pantas untuk hidangan yang telah diberikan. Hari itu aku pulang dengan hati yang hangat.  

***
Aku masih tak suka kopi sampai sekarang, tapi sekali dua kali aku memberanikan diri meminum kopi susu. Seperti Bapak itu bilang, mungkin kuncinya adalah seduikit kopi dan buanyak susu.  

***

Kembali ke tulisan awal.
Read more ...

Wednesday, October 6, 2010

Melati Mewangi

Malam-malam sekitar jam setengah 10, di ibukota negara tercinta, saya berniat naik taxi dari apartemen tempat tim kerja saya menginap ke tempat teman-teman saya berkumpul. Saat itu hujan gerimis, walaupun tidak mengundang, cukup bikin pusing kalau kelamaan kena kepala. Jadi saya minta panggilkan taxi sama satpam apartemen. Datanglah si Taxi. Karena satpamnya lihat saya sendirian, jadi saya dipanggilkan taxi yang terkenal paling aman di Jakarta. Tau sendirilah merek apa.

Saya pun segera naik, menyebutkan nama tujuan saya dan melajulah si taxi. Supirnya menawarkan saya berbagai macam alternatif jalan karena jalan-jalan utama di Jakarta saat itu macet. Bukan informasi baru sih tapi hari itu hari Jumat dan habis hujan jadi saya maklum mungkin memang lebih macet dari biasanya. Karena saya gak hapal-hapal amat sama jalan di Jakarta jadi saya iya iya aja lewat manapun. Perjalanan berlangsung damai dan tenteram, si sopir mengajak saya ngobrol sebentar tapi karena saya agak ngantuk dan menanggapi hanya dengan "iya" dan "tidak" saja jadi kemudian kami berdua diam.

Entah kenapa tiba tiba saya merasa diri saya agak-agak berbau tidak sedap, soalnya saya habis berkumpul dengan para programmer yang tidak bisa lepas dari rokok dan tidak ragu-ragu merokok di tempat ber-AC. Jadi saya memutuskan untuk mengoleskan sedikit wewangian ke baju saya. Biar bau rokoknya agak pudar. Untuk diketahui, parfum saya habis dan belum beli-beli lagi, jadi satu satunya wewangian yang saya punya adalah minyak wangi oles oleh-oleh nenek saya dari arab. Wanginya aroma bunga melati. Benar-benar bunga melati. Saya pun mengoles-oleskan wewangian itu ke baju dan leher saya. Setelah merasa bau rokok agak berkurang saya hentikan pekerjaan oles mengoles wewangian dan kembali menikmati pemandangan malam Jakarta. Taxi dipenuhi bau melati karena parfum yang saya pakai.

Sepanjang perjalanan beberapa kali saya memergoki bapak supir taxi melirik lirik ke arah saya dari kaca spion sambil komat-kamit. Saya tidak merasa itu aneh tapi lama-kelamaan Pak Supir jadi semakin ngebut. Untung jalanan kosong. Saya jadi agak takut sendiri kalo ngebut dan jalanan licin bisa bahaya. Jadi saya memutuskan untuk bilang ke pak supir buat agak pelan sedikit soalnya saya tidak buru-buru.


"Pak pelan-pelan saja jalannya, saya santai kok." kata saya sambil agak mencondongkan badan ke depan.
"Astagfirullahhaladzim, Allahuakbar!!" pekik pak supir tiba tiba.
"Astagfirullah!" pekik saya juga, soalnya saya pikir kami menabrak sesuatu, dan saya langsung menyiapkan diri menghadapi benturan. Tapi sampai berapa lama tidak ada benturan. Jalanan masih seperti biasa.

"Kenapa sih pak?" saya tanya pak supir setelah hilang kaget saya.
"Maaf neng, habis eneng tiba tiba bau melati..jadi saya pikir..saya pikir..." Pak supir tidak meneruskan ucapannya.
"Mikir apa pak?" tanya saya.
Pak supir tidak menjawab, diam seribu bahasa. Saya berpikir, apa yang bisa bikin supir taxi panik. Kayaknya saya bukan tampang pembunuh maniak. Lagian kenapa panik kalo cuma bau melati. Melati..hmmm...tiba-tiba saya mendapat ilham.
"Ooooo.... Bapak pikir saya...Hantu??" asli tidak pernah saya tertawa sekeras itu di taxi. Pak supir cuma senyum senyum sendiri, manahan malu.
Coba saya minta antar ke TPU Casablanca atau TPU Kalibata. Mungkin Bapak itu pingsan. Hahahahaha
Read more ...