Thursday, August 13, 2009

Ceritera Dua Nenek

Ada seorang nenek peminta minta yang setiap pagi duduk di ujung jalan tempat saya menunggu kendaraan umum untuk pergi ke kantor. Nenek itu selalu menggunakan kebaya dan kain yang dililitkan di kepala. Badan nenek itu bungkuk dan matanya buta. Saya menyebut nenek peminta minta itu nenek pengemis favorit saya. Dialah pengemis favorit saya. Bukannya saya pilih kasih dalam bersedekah, atau pelit. Tapi boleh dong saya punya pengemis favorit. Saya selalu memberi nenek itu uang setiap kali melewatinya

Saya sendiri tentu saja punya seorang nenek. Usia nenek saya kurang lebih sama dengan nenek pengemis tersebut. Nenek saya sangat sehat di usianya yang hampir mencapai 80 dan memiliki kehidupan yang nyaman, jelas sangat berbeda dengan nenek pengemis di ujung jalan. Saya tinggal di kota yang sama dengan nenek saya. Tapi karena jarak dari rumah nenek ke tempat kuliah dan kerja jauh maka saya tidak tinggal dengan nenek. Walaupun saya sangat sayang pada nenek saya, saya jarang menelepon dan mengunjunginya. Alasannya khas, sibuk. Entah kenapa setiap kali melihat sang nenek pengemis di ujung jalan, duduk diam dengan kebaya dan penutup kepalanya serta mangkuk uang didepannya, saya selalu teringat pada nenek saya, beliau berdua punya ekspresi yang sama, ekspresi gembira ketika melihat saya, walaupun mungkin dengan alasan yang berbeda. Ekspresi gembira yang jarang saya bisa lihat di wajah nenek saya, karena saya terlalu malas mengunjungi, atau sekedar meneleponnya.

Suatu hari saya melewati ujung jalan tempat nenek pengemis, saya sangat bersemangat hari itu karena saya sedang dalam mood untuk banyak bersedekah, mood yang biasanya datang seiring dengan bertambahnya rekening gaji saya karena sang bos sedang baik hati bukan kepalang memberi bonus di tengah bulan. Hari itu nenek pengemis favorit saya tidak ada di tempatnya biasa duduk. Besok dan besoknya lagi saya masih tidak melihat nenek pengemis itu, malahan tempatnya digantikan oleh ibu-ibu pengemis muda yang mengenakan tiga cincin di jari jemarinya, dan menyumpahi orang yang melewatinya tanpa memberi uang. Karena penasaran saya nekat bertanya kepada si ibu pengemis bercincin tiga, mengenai nenek pengemis favorit saya. Jawabannya sangat mengejutkan, nenek pengemis itu telah meninggal dunia, dia duduk mengemis, batuk batuk kemudian meninggal, jenasahnya dibiarkan teronggok duduk di ujung jalan, karena sang tuan koordinator pengemis ingin memanfaatkan jasa nenek itu lebih lama untuk menarik keuntungan.

Pernah ada seseorang berkata pada saya, berilah pengemis tua yang meminta sedekah. Siapa tahu dia malaikat yang sedang menyamar dan sedang ingin menguji ketulusan hati kita. Well, saya tidak tahu apakah nenek pengemis favorit saya adalah malaikat atau bukan, yang pasti dia memberikan peajaran pada saya, nenek saya tidak akan selamanya ada menunggu saya untuk mengunjunginya atau meneleponnya, jadi sebaiknya saya tidak menunda - nunda. Semenjak hari itu saya selalu menyempatkan diri menelepon atau mengunjungi nenek saya, yang walaupun punya kehidupan yang nyaman tetap selalu merasa merana kalau cucu – cucunya tidak ingat padanya. Semenjak hari itu pula saya tidak pernah lagi menemukan pengemis yang bisa saya jadikan pengemis favorit saya, ibu-ibu bercincin tiga jelas tidak akan pernah mampu menggantikan tempat si nenek pengemis di hati saya, saya berdoa semoga nenek pengemis punya tempat yang baik di atas sana.
Read more ...