Wednesday, April 29, 2009

Nilai C

Saya makan siang dengan pacar saya, kakak pacar saya, dan pacar kakak pacar saya. Bingung? Untung saya belum makan dengan sepupu misan dari mertua kakak pacar kakak pacar saya, pasti lebih bingung. Oke. Jadi saya makan siang, dengan mereka. Ceritanya kakak pacar saya dan pacarnya baru lulus dengan predikat Cumlaude, yang artinya koleksi nilai A mereka pasti bisa membuat Ki Hajar Dewantara, sebagai bapak pendidikan ,menari-nari dengan girangnya karena bangga. Mereka berdua ada di kasta tertinggi lulusan perguruan tinggi. Pacar saya juga terancam lulus cumlaude, yang artinya dia juga punya koleksi nilai A yang menakjubkan, dan berhak menyandang gelar sebagai penghuni kasta puncak. Sementara saya sudah pasti lulus tanpa predikat. Saya bisa lulus saja, itu sudah bagus, karena saya punya koleksi nilai C yang bisa bikin tubuh Ki Hajar Dewantara merinding, karena merasa gagal mendidik anak bangsa.

Percakapan bergulir sampai akhirnya kakak pacar saya bercerita bahwa dia baru mengetahui bahwa dia punya nilai C, setelah mengambil daftar nilai kelulusan. Satu nilai C. Dia tidak habis pikir kenapa dia punya nilai C. Pembicaraan pun beralih menjadi pembicaraan nilai-nilai C. Analisis mendalam bagaimana seseorang bisa mendapat nilai C padahal nilai A dengan mudahnya bisa diperoleh. Saya si pengoleksi C terbanyak, sehingga bisa diberi trophy Golden C. Hanya diam. Kemudian pertanyaan yang saya takuti datang juga.
Kakak pacar saya : “Kalau Restu punya berapa C?”
Saya (nyengir) : “Banyak” (melanjutkan makan, berharap pertanyaan selesai)
Kakak pacar saya : “ Hoo...kenapa?”
Saya (pura-pura sibuk mengunyah, menelan baru menjawab) : “ ya gitu lah”
Kakak pacar saya : “ oh...hati-hati lo...kecerdasan anak kan menurun dari Ibu”

Saya bengong, pacar saya garuk garuk, pacar kakak pacar saya minta ijin ke kamar mandi. Kakak pacar saya, yang mungkin dengan kecerdasannya yang luar biasa, setelah 3 detik menyadari kesalahannya dan langsung berusaha menjelaskan maksud ucapannya. Yadayadayada.


Kecerdasan anak menurun dari Ibu. Kalau orang tua pacar saya seperti kakaknya. Mungkin nanti kalo saya jadi menikah dengan pacar saya. Saya diwajibkan mengikuti Test IQ dulu. Sigh.
Read more ...

Monday, April 13, 2009

Sindrom Ridho Rhoma dan ST.12

Saya ditugaskan ke Kalimantan, mengunjungi daerah-daerah terpencil, yang membutuhkan perjalanan dengan mobil seharian. Supir saya Pak Aam, orang Banjar asli, perawakannya kecil dengan tatto melingkar dari pergelangan sampai lengan tangan kanannya. Di mobil, Pak Aam hobi mendengarkan kaset Ridho Rhoma dan ST. 12 yang disetel kencang-kencang.

Rhido Rhoma dan ST.12, dua Idola masa kini. Ridho Rhoma adalah putra dari H. Rhoma Irama, legenda dangdut yang kondang di jamannya. Suara Ridho Rhoma mendayu, dayu lembut dengan tatanan lagu melayu yang rancak dengan sentuhan modern. Sedangkan ST. 12 adalah salah satu band masa kini, dengan aransemen kunci dan kata-kata sederhana, pokoknya mudah diingat. Tidak perlu menghapal lagunya, kalau mendengar sampai berkali-kali juga pasti hapal dengan sendirinya.


Pak Aam, mendengarkan dua kaset ini berkali-kali, berkali kali dan berkali kali. Kalau kami minta ganti kaset, pak Aam menyanggupi akan tetapi laju mobil jadi tidak begitu kencang dan dia terus menguap. Akhirnya demi keselamatan bersama, kami memperbolehkan Pak Aam mendegarkan dua kaset favoritnya, empat hari tiga malam, nonstop sepanjang perjalanan.

Alhasil ketika sudah sampai di rumah, kuping saya masih memperdengarkan lagu Ridho Rhoma dan ST.12 dengan sendirinya. Tak jarang saya menyenandungkan lagu mereka, di kamar mandi, sebelum tidur, ketika pusing. Bahkan kalau sedang jalan-jalan di Mall, dan terdengar lagu mereka berdua, otomatis saya langsung menyanyi. Hahah. Saya menyebut gejala ini sebagai sindrom Ridho Rhoma dan ST. 12. Sindrom ini berlangsung sampai dua minggu, kepulangan saya dari Kalimantan. Memang hebat Ridho Rhoma dan ST. 12 ini. Jenius.
Read more ...