Wednesday, March 20, 2024

Antara Krisis Nasi dan Isi Piringku

Sebuah analisis suka-suka berbasis cocokologi.

Sego is Lyfe

Pasti banyak yang mengamini, kalau dalam hidupnya kebanyakan orang Indonesia tidak bisa dipisahkan oleh nasi. Bahkan ketika makan karbohidrat lainnya, tetap saja ada nasi yang setia menemani. Nasi berlauk mie goreng, perkedel kentang, bakwan jagung, siomay, dan lain-lain. Karbohidrat kuadrat bahkan pangkat tiga. Nasi is in our blood.

Standar sarapan anak-anak tahun 90-an (atau saya saja ya?). Pantesan dulu jam 9 pagi sudah nguap-nguap di kelas. Kebanyakan karbohidrat.
(Sumber Gambar Nasi Lauk Mie)

Konon nasi sudah lama menjadi bagian sejarah makanan di Indonesia. Bahkan situs purbakala Minanga Sipakko di Pulau Sulawesi menjadi saksi bahwa semenjak 3500 tahun SM pertanian padi sudah ada di bumi nusantara. Akan tetapi, walaupun jejaknya ada sejak zaman purbakala, makanan utama orang indonesia pada zaman kerajaan ternyata bukanlah nasi, melainkan tepung sagu. Setelah hindu masuk ke nusantara, barulah nasi menjadi populer, terutama di daerah Sumatera dan Jawa karena diperkenalkan oleh pedagang dari India. 

Sebetulnya sampai sekarang, di Indonesia timur sagu masih menjadi salah satu makanan pokok, tapi jumlah konsumsinya juga terus menurun. (Sumber Gambar Pepeda)

Tepung Sagu sering digunakan sebagai pengganti tepung aci. Jadi kesukaan kita pada cireng, pempek, bakso dan segala hal yang kenyal-kenyal ini ternyata bawaan nenek moyang! Embrace it folks! (Sumber Gambar Cireng)

Dari sisi kepraktisan, sagu memang lebih mudah tersedia daripada nasi. Pohon sagu sendiri tumbuh dengan mudah di iklim tropis. Tinggal ditebang dan diolah. Sementara nasi memerlukan proses yang jauh lebih panjang. Itupun kemampuan adaptasinya sangat rendah. Hanya saja tekstur dan rasa nasi yang netral memang lebih cocok dimakan oleh apapun, dibandingkan dengan tepung sagu yang lembek dan kenyal. Mungkin itu sebabnya, ketika mulai dikenal, posisi nasi dengan mudah menggeser sagu sebagai makanan pokok. 

Bangsa "Budak" Nasi

Mari kita salahkan pemerintah orde baru. Dimana ambisinya untuk mendapatkan predikat swa sembada pangan diraih dengan “memaksa” seluruh rakyat Indonesia mengkonsumsi nasi putih. Subsidi beras murah diberikan dari sabang sampai merauke. Insentif pertanian terbesar diberikan untuk masyarakat yang bersedia menjadi petani padi. Alhasil puluhan tahun setelahnya bangsa Indonesia menjadi “budak nasi”. 

Tak ada nasi, rungsing. Harga beras naik pusing. 

Tipikal makanan orang Indonesia, 7/8 nya karbohidrat. Asal kenyang!
(Sumber Gambar Ramesan)

Predikat negara agraris dan swa sembada pangan sebetulnya sudah sejak lama tidak layak disandang oleh Indonesia. Sudah kalah dengan negara penghasil beras lainnya. Teknologi yang tertinggal dan manajemen yang buruk menjadi biang keroknya. Beras impor merajalela dengan harga murah, mencekik leher para petani lokal yang tidak punya kemampuan produksi yang sebanding. Tak heran jika para petani memilih untuk menjual sawah-sawah mereka. Lahan pertanian tersebut, sekarang banyak digantikan oleh bangunan-bangunan beton. 

Sudah jadi pemandangan jamak sawah di tengah bangunan pabrik. Mungkin sudah saatnya pengelolaan pertanian berubah model menjadi korporasi. Tapi ini argumen di tulisan lainnya.
(Sumber Gambar Sawah)

Mungkin memang saatnya bangsa ini mengurangi ketergantungan pada nasi. Selain karena harganya semakin mahal, karena suplai terus berkurang dengan kualitas yang menurun, dari sisi kesehatan nasi juga merupakan jenis karbohidrat yang kurang baik bagi tubuh. Indeks glikemik yang tinggi memicu kenaikan gula darah secara drastis (penyebab diabetes). Selain itu rasa kenyang yang ditimbulkan dari mengkonsumsi nasi juga hanya sebentar dibandingkan karbohidrat lain. Makanya setelah makan nasi, setengah jam kemudian kita masih cari seblak.

Mengurangi Nasi, Menyukseskan Program Isi Piringku

Sesuai arahan UNICEF, konsep “Isi Piringku” diperkenalkan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2018 untuk menggantikan konsep 4 Sehat 5 Sempurna. Perbedaan mendasar dari kedua konsep ini ada pada proporsi makanan yang dikonsumsi. Di 4 sehat 5 sempurna yang penting adalah kelengkapannya. Sementara di Isi piringku selain lengkap juga harus seimbang porsinya. 

Berdasarkan prinsip Isi Piringku, asupan makanan kita harus dibagi menjadi : 1/3 karbohidrat (sumber energi), 1/3 protein (nabati maupun hewani), dan 1/3 sayur dan buah (sumber serat, vitamin, dan mineral), dan . Konsep isi piringku utamanya dijadikan ujung tombak dalam melawan stunting: kasus kekurangan gizi pada anak-anak Indonesia. 

Untuk orang yang tidak punya masalah kekurangan gizi, mengikuti prinsip isi piringku sesungguhnya bermanfaat untuk metabolisme tubuh. Metabolisme tubuh sendiri adalah hal mendasar dari kesehatan manusia. Hal ini yang seringkali tidak disadari oleh orang, apalagi jika tidak punya masalah kelebihan berat badan. Berbagai hasil penelitian menyimpulkan kalau mengatur asupan makro dan mikro nutrien serta serat berpengaruh pada kemampuan tubuh untuk bekerja dengan baik.

Bukan tanpa sebab orang Jepang berumur panjang. Makanan yang mereka konsumsi seimbang dari sisi gizi. You are what you eat memang benar adanya. (Sumber Gambar Tipikal Makanan Orang Jepang

Prinsip Sehat yang Tidak Mudah

Masalahnya, mengikuti prinsip Isi Piringku bukanlah hal yang mudah. Setelah bertahun-tahun terbiasa makan dengan segunung nasi, kok ya rasanya ada yang kurang melihat nasi yang hanya secimit. Ketakutan akan rasa lapar terus menghantui, membuat banyak orang menyerah dan kembali memenuhi piring dengan nasi. Padahal jika diikuti dengan benar, makan sesuai isi piringku menjamin orang untuk kenyang lebih lama, karena badannya terpuaskan kebutuhannya. 

Godaan nasi memang dahsyat.

Tahun 2023 dalam usaha saya untuk hidup lebih sehat, saya sedikit banyak menerapkan prinsip isi piringku. Makan nasi lebih sedikit dan sayur buah lebih banyak. Tidak ketinggalan sumber protein dalam bentuk utuh dan bukan karbohidrat menyamar sebagai lauk bak udang dibalik bakwan. Walaupun tidak selalu khusyuk menjalankannya, karena masih sering tergoda yang tidak-tidak, ini beberapa prinsip yang saya pegang supaya Isi Piringku jadi lebih doable:
  1. Membiasakan diri menjadikan sayur sebagai makanan pokok sementara nasi sebagai pelengkap. Saya pakai centong nasi untuk menyendok sayur dan pakai sendok makan untuk mengambil nasi.
  2. Memilih sayur dengan kandungan serat tinggi seperti brokoli, terong, wortel, selada, bayam. Serat bikin kenyang lebih lama. 
  3. Memilih makanan dalam bentuk aslinya. Walaupun terdengar snobbish, tapi makanan dalam bentuk asli memang lebih mudah dihitung komposisinya daripada makanan yang sudah diolah sedemikian rupa. Coba deh hitung komposisi protein, karbo, dan sayur di sekantong lumpia basah. Pasti pusing kan?
  4. Fokus pada after effect. Di usia saya yang hampir kepala empat ini, saya menyadari makan nasi banyak-banyak menyebabkan ngantuk dan setelahnya craving  makanan manis. Sebaliknya makan lebih banyak sayur membuat badan lebih enteng dan mood lebih baik.
  5. Tidak terlalu memusingkan cara masak. Paling penting adalah komposisi. Lama-lama sadar sendiri. 
  6. Telen saja. Tidak usah dirasa-rasa. Sudah bukan waktunya hidup untuk makan. Umur segini sudah waktunya makan yang baik untuk hidup sehat sampai lama.
Kalau sedang berniat, begini isi piring saya. Setengahnya sayur, seperempat protein, seperempat nasi. Sambal dianggap sayur lah ya. Untuk mempermudah, saya pakai piring bersekat. Kalau makan diluar atau ke undangan saya juga tetap mengusahakan isi piringku. Sekali lagi kalau sedang niat. Tapi lama-lama, walaupun menjalankannya on off, diri ini secara otomatis mengambil lebih banyak sayur daripada nasi. (Sumber Dokumentasi Pribadi)


Demikian sepenggal kisah antara krisis nasi dan isi piringku. Semoga bisa diambil hikmahnya. Tulisan ini dibuat untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Maret dengan Tema Cerita Kuliner.



Read more ...

Tuesday, February 20, 2024

Kalau Emak Boleh Berharap

Tentang Pentingnya Kebahagiaan Seorang Emak 

Emak-emak adalah golongan penting di tataran kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimanapun negaranya, kapanpun masanya, pasti selalu ada peran besar emak-emak di dalamnya. Baik yang terlihat maupun tersembunyi di belakang layar. 

Menurut beberapa literatur yang saya baca, kebahagiaan keluarga, lebih besar dipengaruhi oleh kebahagiaan seorang emak daripada oleh kebahagiaan seorang bapack. Tentu saja bukan maksud saya mengesampingkan peran bapack-bapack, karena jelas peran bapack-bapack dalam kebahagiaan keluarga tidaklah kecil. But it just happens that way. Suasana hati dan energi emak-emak, baik sebagai individu, isteri, atau orang tua, konon sangat berpengaruh pada kondisi rumah.Seperti saklar lampu yang menentukan gelap terangnya suatu ruangan.

Sepertinya hampir semua orang pasti bisa mengamini hal ini. Ketika emak merasa sedih, lelah, kesal, ataupun marah, suasana rumah langsung terasa rungsing, muram, dan suram. Sebaliknya ketika emak merasa bahagia dan puas pada dirinya, suasana keluarga terasa lebih nyaman dan tenang. 
Happy emak-emak, happy family.

Tentang Hubungan Kebahagiaan Emak dan Kebahagiaan Negara 

Sementara itu, kebahagiaan setiap keluarga sendiri sangat berpengaruh pada kebahagiaan lingkungan/komunitas, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada tingkat kebahagiaan suatu negara. Ini beberapa alasannya (dirangkum dari beberapa artikel): 
  1. Keluarga yang bahagia disinyalir lebih produktif karena energinya tersalurkan untuk hal yang bermanfaat. Dengan masyarakat yang produktif negara bisa lebih maju. 
  2. Keluarga yang bahagia juga mengurangi beban masyarakat yang terjadi karena masalah kesehatan mental termasuk frustasi dan stress karena beban hidup. Dua hal ini termasuk salah satu faktor pendorong kriminalitas. Jadi saat semakin banyak keluarga yang tidak frustasi dan stress, negara akan semakin aman. 
  3. Keluarga yang bahagia, biasanya punya hubungan anggota keluarga yang erat satu dengan lainnya, sehingga kondisi keluarga lebih stabil dan kuat secara sosial. Unit “kerja” atau motor penggerak terkecil dari negara sejatinya adalah keluarga. Jadi semakin banyak keluarga dengan kondisi stabil, akan tercipta stabilitas wilayah yang lebih luas. Stabilitas wilayah akan mendorong stabilitas nasional. Negara dengan kondisi sosial yang stabil, jelas lebih mudah mencapai kemajuan. Kapal yang oleng kan susah majunya.
  4. Keluarga yang bahagia, menghasilkan generasi yang kuat. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang bahagia cenderung memiliki peluang yang lebih baik untuk tumbuh dan berkembang secara positif, yang dapat menghasilkan generasi yang lebih bahagia, produktif, dan berkontribusi pada kemajuan negara.
NAH! Dengan berbagai alasan diatas, tidak ada salahnya bagi para pemimpin negara untuk mulai memikirkan kebahagiaan emak-emak, sebagai salah satu jurus ninja untuk mencapai negara yang bahagia.

Karena percayalah, membahagiakan emak-emak di negara sendiri lebih gampang dan berkah daripada membahagiakan pihak lain. Investor luar contohnya. Eh?

Ingat, doa ibu adalah salah satu yang bisa menembus langit ketujuh dan surga ada di telapak kakinya. Kekuatan tersembunyi negara Indonesia, sebagai bangsa beragama, yang belum tentu dimiliki oleh negara lain. 
Happy family, happy country. 

Hal yang Membuat Emak Bahagia

Kebahagiaan, menurut KBBI adalah kesenangan dan ketenteraman hidup (lahir batin); keberuntungan; kemujuran yang bersifat lahir batin. 

Lalu pertanyaannya, "apa sejatinya yang membuat para emak bahagia?"

Jawaban pertanyaan ini tentu saja bisa beraneka ragam, tergantung dari konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Plus ambisi dari emak yang berharap tersebut. Tapi, secara umum, kebahagiaan emak-emak ada di seputar kesejahteraan keluarga. Ada yang tidak setuju? 

Perkara kesejahteraannya mau hanya keluarga inti atau sampai tujuh turunan, itu sih diserahkan kepada kebijakan masing-masing emak ya. Tapi intinya hampir semua emak-emak bahagia kalau keluarganya sejahtera. 

Sebetulnya kesejahteraan keluarga, tidak melulu hanya diukur oleh banyaknya materi yang dipunya. A life well lived adalah slogan yang lebih tepat menurut saya. Mencapai kepuasaan dan kebahagiaan melalui kehidupan yang punya tujuan dan arti (purposeful living). Tak harus seperti Sultan Andhara untuk punya kehidupan yang punya tujuan dan berarti. Semua orang, apapun kondisi ekonominya, (harusnya) bisa juga. 

Asal sudah bisa memenuhi tingkatan kedua dari diaram kebutuhan Maslow: kebutuhan fisiologi dan kebutuhan akan keamanan. Pemenuhan sebagian besar dari kedua kebutuhan ini seharusnya, adalah kewajiban negara. 

Sumber: www.thoughtco.com 

Kebahagiaan yang Semakin Hilang 

Emak-emak Indonesia, seperti orang Indonesia pada umumnya, sebetulnya gampang dibuat bahagia. Entah karena standar kebahagiaanya memang rendah, sangat positif thinking, atau memang sifat standarnya adalah happy go lucky..

Tapi, kalau lihat kanan kiri sekarang ini sepertinya semakin banyak emak-emak (dan orang-orang) yang frustasi. Bahkan tak jarang sampai kehilangan akal dan melakukan hal-hal nekad. Lihat saja berita-berita kriminal di televisi. Senggol bacok karena hal sepele semakin jamak di negeri ini. 

Pasti ada yang salah dengan negeri ini, kalau sampai semakin banyak rakyatnya yang semakin tidak bahagia. Berkaca pada pengalaman diri sendiri, yang akhir-akhir ini ingin jambak-jambak rambut saat membayar groceries, pantas saja banyak orang yang emosi. Bahkan untuk keluarga dengan tingkat sosio ekonomi menengah (keatas) seperti kami ini, hidup semakin sulit di negeri ini. 

Dengan negara yang cenderung membiarkan rakyatnya untuk survive sendiri, emak-emak sebagai ujung tombak keluarga pasti adalah yang pertama merasakan segala kesulitan tersebut. 

Harga barang-barang melambung tinggi, membuat daya beli semakin menurun. Kualitas kesehatan memburuk karena lingkungan hidup yang semakin tidak kondusif. Adab yang semakin menghilang membuat rasa aman perlahan sirna terganti ketakutan akan perilaku manusia lainnya. Kesejahteraan (dan kebahagiaan) semakin menghilang dari bumi pertiwi.

Banyak emak-emak mulai mencari kebahagiaan semu dari hal-hal yang tak penting. Mungkin untuk sekedar melupakan masalah yang sebenarnya dihadapi. 

Situasi ini, mengkhawatirkan buat saya, karena seperti saya sampaikan diatas, kondisi emak-emak berpengaruh pada kondisi keluarga dan pada akhirnya pada kondisi negara. Tidak ada negara yang baik-baik saja kalau rakyatnya frustasi. Seperti menyetir kelompok zombie yang gentayangan tanpa arti kesana dan kemari untuk menuju arah yang sama. 

Harapan untuk Mencapai Kesejahteraan (Bersama)

Katanya, kita tidak boleh menggantungkan harapan pada manusia. Karena manusia, terntu saja adalah tempatnya salah dan lupa. Tapi sebagai emak-emak yang punya privilese sebagai bagian dari 1% orang Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi di universitas ternama, izinkan saya memberikan saran pada pemimpin Indonesia. 

Siapa tau suatu saat ada yang melihat. Syukur-syukur ada yang bersedia memperjuangkan. Mana tau kan pikiran saya sama dengan elite pimpinan diatas sana. 

So here we go, saran saya kepada pemimpin Indonesia, untuk paling tidak membuat emak-emak bahagia: 
  1. Jaminan universal basic income untuk seluruh keluarga di Indonesia. Karena seperti amanat undang-undang, orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Tak perlu khawatir tak bisa makan kalau tak punya pekerjaan. Dengan perut terisi, paling tidak punya tenaga (dan kewarasan) untuk mencari pekerjaan. 
  2. Emak-Emak (atau Bapack-Bapack) DIGAJI negara untuk menjadi ibu/bapak rumah tangga. Karena stay at home mom/dad is the most underated and underpaid job in the world. Padahal nilai investasinya besar untuk generasi mendatang. 
  3. Pemenuhan basic necessities untuk seluruh keluarga di Indonesia. Saluran air bersih, tempat tinggal yang layak dengan pembuangan limbah yang memadai, seta akses ke bahan pangan yang bervariasi, berkualitas, dan TERJANGKAU. Oh come on, we can do that.
  4. Pendidikan adab (dan literasi) yang mumpuni untuk seluruh rakyat Indonesia. Saya tahu yang selama ini diributkan adalah skor PISA kita yang rendah. Tapi buat saya, daripada skor matematika dan ilmu pengetahuan lainnya, yang paling penting sekarang ini adalah terlebih dahulu mengembalikan jiwa orang Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat. Tak ada gunanya kepintaran kalau tidak punya adab. Hanya akan menyebabkan kemunduran. Sebaliknya, dengan adab yang baik orang bisa lebih mudah mendapatkan ilmu dan memperoleh kemajuan. 
  5. Dukungan untuk memajukan usaha/pekerja lokal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan basic necessities di seluruh wilayah Indonesia. Semakin banyak service yang diberikan, semakin banyak pekerja yang dibutuhkan. Peluang kerja terbuka lebar. Biar nggak pada cari kerja di Jakarta saja, atau mimpi jadi yutuber terus terusan. 
  6. Penyediaan ruang terbuka hijau di seluruh wilayah Indonesia. Termasuk penghijauan kembali tanah bekas tambang dan reboisasi hutan. Lingkungan yang asri, hati adem, stress hilang. Kalau perlu adakan playground/lahan bermain gratis di setiap RW atau kelurahan, terutama di daerah perkotaan. Sehingga anak-anak punya kesempatan bermain fisik daripada hanya menggunakan gadget seharian. Healthy children build healthy nations.
  7. TERPENTING! Apapun kebijakan yang diambil, Bapak dan Ibu yang terhormat, selalu ingat pada akhirat. Ketika seluruh perbuatan, baik atau buruk, akan mendapatkan balasan yang sesuai. 

Penutup

Cara mengukur kebahagiaan suatu negara menurut United Nations Sustainable Development Solutions Network adalah menggunakan indikator Human Development Index. Ranking kebahagiaan Indonesia, berdasarkan index tersebut, jauh dibawah. Kalau orang lain lihat, pasti nampaknya menyedihkan. 

Sebetulnya, dibalik segala kekacauan yang ada di negeri ini, saya masih bersyukur tinggal di negara yang relatif damai. Walaupun orang-orangnya kelakuannya makin hari makin ajaib.



Read more ...

Monday, November 20, 2023

Ngukur Jalan

Semuanya dimulai di awal pandemi. Situasi baru yang cukup memusingkan, membuat satu rumah kelelahan sepanjang hari. Anak-anak rungsing, orang tua pusing. Kondisi semakin memburuk kala matahari sudah tenggelam. Emosi sudah di ubun-ubun. Badan sudah remuk redam. Otak sudah tak bisa berpikir.

Ingin hati menggeletak di atas kasur, tapi mata makhluk-makhluk kecil itu malah semakin terang. Sekuat tenaga menolak untuk tidur. Padahal badan dan otaknya sepertinya sudah minta diistirahatkan. Alhasil pecah perang setiap malam. Tentu diwarnai tangisan dan teriakan. Tak jarang sampai jauh hingga pekatnya malam. Sungguh menguji kesabaran.

Suatu malam, si Ragil, yang kala itu usianya masih sekitar 7 bulan, menangis tak henti-henti. Dari Magrib sampai lewat jam 1 malam. Segala usaha sudah dilakukan. Mulai dari yang duniawi seperti eyong-eyong hingga yang spiritual seperti baca quran. Tidak ada yang bisa membuatnya berhenti menjerit. Ingin hati lari ke UGD. Mana tau dia kesakitan dan dokter disana bisa memberikan jawaban. Tapi kondisi tidak memungkinkan. UGD kala itu tak ubahnya medan perang. Lagian kalau masih bisa jerit sampai lampu gantung bergoyang sih kayaknya sehat-sehat saja badannya.

Mbarep, yang cuma bisa tidur di kelek emaknya, tentu saja tidak berkenan mengalah untuk tidur dengan bapaknya. Apalagi semua perhatian tercurah ke adeknya, tentu saja tak afdol kalau tak ikut berulah. Merengek-rengeklah dia. Andaikan itu musik mungkin kombinasinya bisa jadi backsound film thriller. Tapi berhubung ini rengekan, tangisan, dan jeritan secara live, jadinya seperti konser Queen dengan nada klimaks yang sumbang. Sungguh bikin puyeng. Saya sampai dengan serius mempertimbangkan untuk memanggil ustad karena takut Ragil kesurupan. 

Di suatu titik, karena merasa sangat kepanasan dan sumpek, saya bilang ke suami supaya kami pergi saja naik mobil. Paling tidak di mobil ada AC-nya jadi saya bisa sedikit ngadem. Akhirnya kami gotong dua bocah itu ke mobil, kami kunci di carseat. Lalu kami berkendara keliling-keliling Bandung. Sambil jalan, kami berdua diam, memandang kelebat lampu kota di tengah pekat malam. Tanpa sadar, lama kelamaan suara jeritan berubah jadi tangisan, lalu isakan, dan terakhir hanya sesenggukan. Dua jam di dalam mobil. Putar-putar tanpa tujuan, akhirnya kedua bocah lucu itupun tertidur. Setelahnya saya dan suami sibuk toyor-toyoran, kenapa nggak dari tadi saja jalan-jalan. 

***


Semenjak itu, jalan-jalan malam menjadi ritual kami. Apalagi setelah melalui hari yang terlalu melelahkan. Supaya anak-anak cepat tidur dan Emak Bapak bisa me time dengan tenang. Alias melakukan kegiatan favorit keluarga yang sebenarnya: Bapak dengerin podcast/nonton film, Emak nonton Drama Korea. Atau youtube short kalau lagi nggak mau mikir. Walaupun nonton tetap mikir sih ya.

Saking seringnya dilakukan, jalan-jalan malam akhirnya jadi ajang saya dan suami ngobrolin berbagai hal. Terutama hal-hal yang serius atau ribet. Karena kalau di rumah terlalu riweuh dengan bocah-bocah yang berlompatan kesana kemari dengan teriakan “Ibu Ibu Ibu Ibu” setiap 10 detik. Boro-boro mau serius, baru mau sampai salam pembuka saja, pasti sudah diinterupsi bocah 30 kali. Kalau di mobil entah kenapa ini bocah-bocah bisa anteng. Kadang disogok tontonan/game sih, tapi tak jarang mereka berdiam dengan sendirinya. Melihat-lihat dengan asyik ke kanan dan kiri. Tapi tidak naik becak dan tidak sambil tumpang kaki.  

Waktu pandemi, jalan-jalan malam juga menjadi sedikit hiburan melepas kepenatan setelah terkurung terus di dalam rumah. Walaupun sering sedih juga melihat daerah-daerah yang sepi seperti kota mati. Kala itu, kalau jalan-jalan malam seringnya saya cuma pakai daster yang ditutup kaos lengan panjang plus bergo. Kadang-kadang kalau apes, Mbarep kebelet pipis dan terpaksa mampir buat ke toilet di SPBU. Anggap saja fashion statement malam-malam. Perpaduan daster kembang-kembang dan kaos garis-garis atau polkadot. Tergantung dari sudut pandang mana dilihatnya. Bisa merusak mata. Bisa juga menyegarkan mata. Sayang karena tidak boleh ada kerumunan, tidak jadi viral seperti Citayam.

Setelah keadaan kembali normal, jalan-jalan malam sering diselingi dengan kegiatan lain seperti beli keperluan mendadak ke minimarket, ambil uang di ATM drive thru, beli es krim juga via drive thru atau iseng saja cari lokasi suatu tempat yang ingin didatangi. Biasanya restoran. Sengaja pergi ke seberang kota supaya waktunya cukup untuk anak-anak tidur. Karena ini adalah esensi dari jalan-jalan malam. Bikin anak-anak terlelap. Tentu saja, karena tak jarang mampir-mampir, sekarang saya sudah tak pakai daster lagi. Rada niat sedikitlah. Walaupun tak sampai pakai gincu.

Kadang kalau sedang tidak mampir-mampir dan sedang malas ngobrol, kami menghabiskan waktu dengan mendengarkan podcast favorit suami atau lagu-lagu random di situs musik. Tapi kadang juga hanya diam saja, menikmati suasana hening. Karena keheningan itu langka di kota.

Satu hal yang mengusik hati dari kegiatan ini. Karena belum ada mobil yang ramah lingkungan (mobil listrik kalau di Indonesia jadi nggak ramah juga), plus kalaupun ada, kemungkinan besar belum akan sanggup belinya, sebetulnya jalan-jalan malam ini menambah emisi karbon tak perlu sih. Heuheu. Cuma gimana ya, demi kewarasan, maafkan aku bumi. Anggap saja investasi (loh salah tema tantangan nih). Siapa tau kalau sudah besar salah satu core memory anak-anak adalah jalan-jalan malam menyusuri gemerlap dan heningnya kota sambil mengobrol ngalor ngidul tentang segala hal. Siapa tau kelak, mereka juga akan mengajak keluarganya jalan-jalan keliling-keliling di saat malam. Di manapun takdir mereka nantinya. Mungkin pakai mobil terbang.  ***

Hampir tidak jadi menulis untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog kali ini. Tapi sayanglah ya tinggal 1 bulan lagi. Memenuhi janji kepada diri sendiri untuk tamat tantangan sampai akhir tahun ini.



Read more ...

Friday, October 20, 2023

Investasi Sesuai Indonesia Raya

Semua berawal saat sofa di rumah patah kakinya dan jebol dudukannya karena dijadikan trampolin oleh Mbarep. Pamannya yang prihatin melihat kondisi sofa tersebut, menyarankan Mbarep ikut parkour. Olahraga yang intinya adalah melompat dari satu titik ke titik lainnya. Setelah mencari-cari di sosial media, saya menemukan kalau di Bandung ternyata ada komunitas parkour. Beberapa anggotanya berminat melatih anak-anak. Sudah setahun ini Mbarep ikut parkour. Sampai sekarang masih happy ikut latihannya. Jadi atlit sih nggak akan kayaknya, tapi paling nggak sekarang lompatnya nggak di sofa yang itu-itu saja. Merambah ke sofa-sofa lain. Jadi mereka bisa berbagi penderitaan satu sama lainnya. 

Mbarep ikut parkour

***

Kegiatan fisik yang terarah untuk anak-anak memang jadi perhatian saya dan suami. Belajar dari pengalaman diri saya sendiri yang sekarang tidak menguasai olahraga apapun, saya ingin anak-anak saya punya dasar olahraga. Tidak perlu jago sampai jadi atlit, tapi supaya mereka punya suatu hal untuk ditekuni dalam waktu lama. Syukur-syukur sampai tua. 


Hal ini rupanya sejalan dengan arahan dari sekolah Mbarep (dan calon sekolah Ragil) yang amat sangat concern pada kesiapan fisik anak sebagai bekal untuk belajar di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Fisik yang baik, terbukti mendukung daya tahan tubuh dan konsentrasi. Biar bisa duduk tenang dan fokus menghadapi majelis ilmu gaes. Jangan kayak Ibunya yang duduk diem 15 menit aja pegel-pegel. Terus jam 2 siang sudah nguap-nguap di kantor. Jompo sebelum waktunya. 

Ragil gymnastic di rumah

Karena pentingnya kegiatan fisik ini buat kami, semenjak awal tahun ini, kesibukan saya, suami, Ibu mertua, dan bibi yang mengasuh anak-anak, bertambah dengan antar jemput bocah les. Mbarep les parkour, renang, sementara Ragil les gymnastic dan "pramuka". 

Ragil ikut "pramuka"

Sebetulnya buat kami merupakan keputusan agak heroik mengikutsertakan anak-anak pada segala kegiatan ekstrakurikuler tersebut. Sudahlah biayanya besar, waktu dan tenaga untuk antar jemputnya juga tidak sedikit. Tapi mari kita anggap saja ini investasi untuk bangsa dan negara, seperti diamanatkan dalam lagu Indonesia raya:

Bangunlah Jiwanya Bangunlah badannya untuk Indonesia Raya
Kalau lihat deretan kegiatan anak-anak can’t be helped merasa seperti Ibu-Ibu Korea di Crash Course Romance. Tapi tenang saja, saya nggak seambisius itu kok. Ada prinsip-prinsip yang saya dan suami pegang ketika memutuskan mengikutsertakan anak-anak di kegiatan ekstrakurikuler. Ini saya bagikan ya: 


  1. Jangan Memaksa

Kami dengan sadar menyadari, tidak ada hal baik yang akan dihasilkan dari pemaksaan. Seberbakat apapun anak di suatu kegiatan, kami tidak akan memaksakan dia mengikuti kegiatan tersebut, kalau dia tidak menikmatinya. 

  1. Jangan Hitung-Hitungan

Namanya anak-anak, apalagi balita, moodnya masih naik turun. Kalau sesekali Mbarep atau Ragil ngambek, nggak mau ikut latihan, saya dan suami tidak pernah membujuk dia mati-matian untuk tetap mengikuti kegiatan. Kalau mereka sedang tidak mau latihan, ya kami biarkan saja. Paling dibawa pulang kalau tidak kondusif dan mengganggu peserta lainnya. Tak usah hitung-hitung kerugian biaya les yang sudah dibayarkan. Hanya menambah kepusingan saja.

  1. Konsisten adalah yang Utama

Buat kami ikut ekstrakurikuler itu bukan buat jadi jagoan. Tapi cari kegiatan rutin yang bisa konsisten dilakukan. Sampai jauh ke masa mendatang. Konsisten datang. Konsisten ikut latihan. Seperti kata pepatah: alah bisa karena biasa. Alon-alon asal kelakon. Lama-lama juga bisa kok. Biar yang jadi jagoan, Sadam dan Sherina sajalah (kemudian nyanyi)

  1. Bukan untuk Saingan

Sejalan dengan prinsip nomor 3, ikut ekstrakurikuler juga bukan karena ingin mencari prestasi. Kalau ternyata berbakat dan bisa berprestasi ya syukur. Tapi kalau tidak, ya tidak ada masalah. Paling penting adalah bisa menikmati. Enjoy aja kalau kata iklan. Tantangan sesulit apapun asal senang dan tekun menjalaninya pasti akan bisa terlewati. Tidak perlu dibebani dengan harus jadi juara atau yang terhebat. Ingat kelinci saja kalah lomba lari dengan kura-kura. Walaupun dalam dongeng tentunya.


Ragil ikut gymnastic di gym

Penutup

Doa saya untuk anak-anak yang utama adalah mereka bisa tumbuh besar jadi orang yang tidak merepotkan. Tidak merepotkan diri sendiri, tidak merepotkan keluarganya sekarang dan nanti, juga tidak merepotkan umat agama dan masyarakat. Repotnya tidak sesederhana bikin riweuh orang disekitarnya ya. Kalau itu sih tergantung konteksnya. Kerepotan yang saya maksud adalah kerepotan yang merugikan. Melanggar dan menghalangi hak diri sendiri dan orang lain. Apalagi sambil mengambil yang bukan hak-nya. Kecanduan narkoba itu merepotkan diri sendiri, jadi koruptor itu merepotkan masyarakat, jadi orang tua/pasangan tidak bertanggung jawab itu merepotkan keluarga.


Tapi doa saja tentu tidak cukup, harus ada ikhtiar dari kami supaya anak-anak bisa tumbuh jadi orang yang tidak merepotkan. Memilih ekstrakurikuler yang sesuai adalah salah satu hal yang kami lakukan. Karena kami percaya, jika orang terbiasa memiliki fokus kepada hal-hal yang baik dan bermanfaat, maka kedepan tidak akan mudah mengalihkan fokus tersebut pada hal-hal yang merugikan. Demi diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. (Kejauhan ya? haha) Tulisan ini dibuat untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober: Investasi yang Ingin atau Sudah Dilakukan.


Mbarep dan ragil hobinya manjat-manja tapi nggak/belum ada yang minat ikut panjat dinding




Read more ...

Wednesday, September 20, 2023

Ribet!

1996

Tepukan membahana mengiringi langkah gadis kecil itu. Dengan sumringah dia menerima piala pemenang lomba dari kepala sekolah. Sudah tak terhitung berapa kali namanya disebut di upacara bendera senin pagi. Karena hidupnya penuh prestasi. Tatapan kagum terlontar dari berbagai. Termasuk dariku yang memandanginya dari salah satu barisan. Oh sungguh ingin ku ada di tempatnya sekali saja. Sayangnya menjuarai lomba menghapal undang-undang dasar tahun 1945 tingkat RW, tak cukup membuat pihak sekolah memanggil namaku di Senin pagi. 


2003

Aku menutup muka dengan bantal untuk meredam tangisanku. Hari itu, aku seharusnya datang ke sebuah pesta ulang tahun ke 17. Acara paling hits saat itu. Lokasinya di sebuah hotel mewah di tengah kota. Pengisi acaranya artis dari ibu kota. Kebanyakan undangannya adalah anak paling populer di sekolah. Aku, yang sama sekali tak populer, diundang karena empunya pesta adalah adik kelasku di grup paduan suara dan anehnya kami cukup akrab. Sungguh kuingin hadir dan menjadi bagian dari dunia itu sekali saja. Sayangnya rumahku ada di pinggiran kota. Kala malam, untuk ke pusat kota harus melewati seruas jalan pantura penuh dengan bis antar kota dan truk-truk raksasa. Naik motor sendiri adalah sebuah keniscayaan. Bapak sedang dinas keluar kota. Beruntung teman sebangkuku dan pacarnya, yang adalah pasangan ultra populer, berjanji akan menjemputku. Tapi namanya janji anak SMA, sampai lewat waktu pesta dimulai mereka tak kunjung datang. Sampai tengah malam tak ada kabar berita. Malam itu aku tertidur dengan muka bengkak penuh air mata dan baju pesta yang terlupa untuk dilepaskan.


2005

Pita kecil disematkan di dada mereka. Tanda mahasiswa elite dengan indeks prestasi jauh diatas rata-rata. Pada masa itu punya IPK diatas 3.5 adalah pencapaian yang cukup luar biasa. Peraihnya diundang untuk menghadiri pertemuan awal semester dengan para dosen dan petinggi fakultas. Makan besar dengan masakan catering bukan warung pinggir jalan. Sementara aku dan para mahasiswa lainnya, dengan indeks prestasi rata-rata, jangan harap bisa ikut-ikutan. Mahasiswa seperti kami, jatahnya hanya makan mie bakso di himpunan sambil main kartu remi. Itu juga harus bayar sendiri.  

 

2010

Aku memandang wajah-wajah di sekelilingku. Masih familiar seperti dua tahun sebelumnya. Saat kami diarak keliling kampus setelah diwisuda di Sabuga. Hanya saja kali ini aku tidak tau harus ikut bicara apa. Mereka semua bicara tentang hal yang sama sekali tak kuketahui. Orang-orang yang tak kukenal. Dunia korporasi yang asing dan tak pernah berani aku masuki. Utamanya karena aku tak percaya diri. Terdikte oleh indeks di transkrip nilai yang tak mumpuni. Membuatku malu mengakui diri sebagai lulusan dari Institut terbaik di negeri ini.


2012

"Manten wedhok kok sterek nemen", perias pengantin itu bergumam sambil mendadani aku di jam 4 pagi. Gerakannya dramatis saat melilitkan jarik ke sekeliling tubuhku. "Kudu disambung iki, orak muat. Sampeyan abote piro sih Mbak, gedi nemen", katanya lagi dengan serius. Aku hanya diam tidak membalas. Karena yang dikatakan juru rias itu benar. Ketika menikah, aku sudah ada di posisi overweight. Berat badanku naik drastis 4 tahun setelah lulus kuliah. Mungkin terlalu banyak makan yang enak-enak. Satu hal yang aku sesali, adalah aku tidak tahu cara merawat badan. Badanku memang cenderung bongsor, hubunganku dengan makanan kurang baik, sementara aku tidak tidak berminat olahraga. Body image adalah momok terbesarku hingga kini.


2014

"Eh mbak, mau kerja?", sapa seorang kenalan saat bertemu di S-Bahn. Aku mengangguk. "Kuliah?", aku balik bertanya. Giliran dia yang mengangguk. Kami berpisah saat dia turun di stasiun Universität sementara aku melanjutkan perjalanan ke Flughafen (bandara). Tempat aku bekerja sebagai tukang cuci piring. Kadang aku membayangkan, bagaimana rasanya kuliah di luar negeri. Masalahnya setelah dua gelar strata yang berturut-turut kudapat dengan susah payah di negeri sendiri, rasanya malas untuk mencoba lagi. Padahal waktuku masih sangat longgar karena belum punya anak. Suatu keputusan yang kadang sedikit aku sesali. Membuang kesempatan mencicipi pendidikan luar negeri.

2018

"Gue lagi pusing mau pilih US atau UK. Data analytic kayaknya lebih bagus di US, tapi gw lebih nyaman di UK…"

Udara membawa sekelumit kegalauan tersebut ke balik konter Tata Usaha tempatku bekerja. Aku melirik ke arah sumber suara. Tiga orang mahasiswa tingkat 3 terlihat sedang duduk sambil mengobrol dengan semangat. Aku kembali menghadap pekerjaanku. Deretan draft surat yang kini terasa remeh dan membosankan. Otakku teralih tak bisa berkonsentrasi. Mendengar percakapan penuh mimpi, kantor yang luas ini terasa sumpek sekali.

2022
"Apakah saudara bersedia ditempatkan di unit kerja manapun?". Pewawancara tersebut melontarkan pertanyaan terakhirnya. Aku menjawab mantap, "Bersedia, tapi hanya jika unit tersebut berada di Bandung". "Kenapa?". "Karena saya masih harus antar jemput anak sekolah". Pewawancara itu nyengir. Saya juga nyengir. Kami berdua tau, jawaban saya tadi telah menutup peluang saya menjadi pegawai tetap di tempat saya bekerja 5 tahun ini. Institusi yang sama yang telah meluluskan saya dua kali. Dua bulan berikutnya saya kena PHK. Di PHK almamater sendiri. Sudah mirip judul clickbait. Sepertinya di institusi ini, selain jadi dosen, lulusan sendiri tak ada gunanya, sebaik apapun kinerjanya, jika masih harus antar jemput anak setiap hari.

Juni 2023

Aku menyebutnya keluhan musiman. Keluhan yang muncul saat sedang terjebak dengan pekerjaan yang monoton dan menyita waktu. Sampai sering aku bertanya-tanya kenapa ada orang yang mau membayarku cukup besar untuk mengerjakan hal yang mungkin bisa dikerjakan orang lain dengan harga separuhnya. Terdengar sombong tapi kenyataannya ada pertanyaan yang selalu menghantui: apakah yang kukerjakan cukup berarti? Apakah aku gaji buta?


September 2023

Jumbotron dihadapanku menampilkan foto dua orang perempuan yang diundang sebagai pembicara di acara kampus hari itu. Pose mereka di foto tersebut terlihat sangat profesional. Tangan bersidekap di depan tulang rusuk. Senyum simpul dengan mata tajam ke arah kamera. Wajar saja, karena mereka telah mencapai posisi puncak di tempat kerja masing-masing. Sesungguhnya aku ingin mencoba, sekali saja berada di posisi mereka. Tapi tentu saja itu hanya impian semu, karena ku tau perlu waktu belasan taun buat mereka mendaki posisi itu. Sementara aku menghabiskan belasan tahun yang sama untuk melakukan hal-hal kurang berguna. Scrolling marketplace dan menonton Youtube Shorts salah satunya.


Kesimpulan

Mendaftar permasalahan hidup saya diatas membuat saya berkesimpulan, tantangan terbesar dalam hidup saya adalah diri saya sendiri, yang sering overthinking, tidak percaya diri dan kontradiktif. Memilih untuk sebisa mungkin menghindari risiko untuk mempertahankan status quo. Padahal mudah bosan dengan hidup yang begitu-begitu saja, tapi tak mau berusaha lebih dari seharusnya. Tak bersedia menunjukkan diri, karena takut penilaian orang lain. Sementara di satu sisi masih perlu pengakuan.


Intinya sih Ribet!



Dua jam lagi deadline tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September ini. Seperti biasa aku  merutuki diri karena hobi menunda-nunda.Tapi sampai bulan kesembilan tetap tak kapok juga.



Read more ...

Sunday, August 20, 2023

Cita-Cita Mencapai Cita-Cita

Keinginan yang Berubah

Waktu kecil, saya punya tiga keinginan besar. Pertama masuk ITB. Kedua tinggal di luar negeri. Ketiga traveling. Masa remaja saya penuh usaha untuk mewujudkan mimpi yang pertama. Menjadi mahasiswa di Kampus Gajah paling ternama di Indonesia. Alhamdulillah kesampaian. 

Usia 20-an saya habiskan untuk menjalani impian kedua dan ketiga. Menjelajah pelosok negeri hingga khatam 32 provinsi (dulu baru ada 34 Provinsi), lalu tinggal di negara asing, dan mengunjungi berbagai tempat di benua nun jauh disana.

Masuk usia 30-an saya bingung kalau ditanya impian saya apa. Soalnya yang selalu dipanjatkan dalam doa, alhamdulillah sudah tercapai semua. Haha. 

Yah sebetulnya keinginan sih ada banyak. Namanya juga manusia. Buktinya wishlist di marketplace selalu penuh. Berharap punya rezeki untuk bisa terkabul beli setiap tanggal kembar. Supaya hemat ongkir.

Hanya saja keinginan buat dapat lippen dengan diskon 75% kok rasanya terlalu cetek untuk dituliskan. Apalagi untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog. Mana saya sudah 2 bulan nggak masuk 5 besar *Lha

Akhirnya saya teringat, sesungguhnya saya punya keinginan (bukan impian) yang sudah lama saya punya:
“Menemukan passion atau minat saya yang sesungguhnya untuk bisa mewujudkan cita-cita saya" 

Panjang ya. Sudah kayak pernyataan misi sekolah. 

Minat bukan Bakat

Dulu zaman masih baca majalah Bobo, saya selalu terkagum-kagum pada kisah tentang anak-anak berprestasi atau bertalenta. Paling teringat adalah cerita tentang anak yang memenangkan lomba gambar yang diadakan oleh suatu maskapai penerbangan, lalu gambarnya dicetak di badan pesawat.  Konon menurut para ahli, setiap manusia pasti punya bakat utama. Hal yang bisa dilakukan lebih baik daripada rata-rata orang-orang lain. Sayangnya hanya sedikit sekali yang beruntung bisa menemukan bakat utamanya. Dari yang sedikit itu lebih sedikit lagi yang bisa memanfaatkannya secara maksimal. Wajar, karena yang namanya bakat bisa sesepele mampu memasukkan benang ke jarum tanpa dijilat.  

Saya termasuk orang yang tidak menemukan bakat saya yang utama sampai sekarang. Mungkin karena tidak ada kesempatan mencoba berbagai hal (Bapak Ibu saya, seperti kebanyakan orang tua di eranya, punya prinsip: apapun bakatmu, belajarlah yang rajin, supaya besar bisa jadi pegawai negeri), mungkin karena bakat utama saya sedemikian randomnya, atau saya tidak sadar yang saya lakukan adalah bakat. 

Menurut orang-orang, saya berbakat di pekerjaan saya yang sekarang, yang isinya mengorganisir orang dan kegiatan. Tapi buat saya, yang saya lakukan, biasa-biasa saja, dalam artian tidak ada yang terlalu istimewa. Semua orang juga bisa, kalau ada di posisi saya. 

Untungnya, sampai sekarang saya tidak pernah menyesal tidak menemukan bakat saya yang utama. Karena bakat, yang saya pahami, tidak selalu berbanding lurus dengan passion (minat), kesuksesan, apalagi kebahagiaan.

Albert Einstein juga kan bilang, jenius itu 1% bakat dan 99% kerja keras. Walaupun punya IQ 185 jelas membantu sih. Soalnya, kalau orang biasa macam saya ini, mau sekeras apapun saya bekerja, sampai guling-guling sekalipun, kemungkinan besar saya tidak akan pernah menemukan teori yang layak dipahat di batu atau dipajang di dinding kota. Salah-salah yang keluar malah teori konspirasi yang memicu gosip tetangga. 

Quote lain dari Albert Einstein. Dia berhasil karena punya passion. Bukan karena bakatnya. 

(Sumber: twitter wonderof science)

Intinya sih, di usia segini, saya sudah tidak mencari-cari bakat utama saya. Karena menurut saya nggak ada gunanya. Haha. Misalnya ternyata bakat utama saya adalah jadi pawang Gajah di savana Tanzania atau punya kemampuan adu jempol yang mumpuni sampai bisa jadi juara dunia, terus kenapa? Kan bukan berarti saya harus pindah ke belahan dunia lain atau berlatih adu jempol sepanjang hari hanya agar bakat saya tersalurkan.

Makanya buat saya sekarang lebih penting menemukan minat saya daripada bakat saya yang utama. Karena di usia yang hampir 40 tahun ini, buat saya, melakukan hal yang saya senangi lebih penting daripada yang saya kuasai.


Cita-Cita Tanpa Usaha

Ada beberapa hal yang sering saya pikirkan untuk fokus dilakukan. Salah satunya, yang paling sering saya angankan, adalah jadi kolumnis seperti Umar Kayam, yang esainya dulu setiap hari dimuat di surat kabar. Karena salah satu hobi saya adalah mengamati dan menganalisi orang atau situasi, saya ingin membuat kolom opini seperti ScaryMommy, Vox, The Atlantic, dan sebagainya, tapi dengan sentuhan cerita sehari-hari seperti gaya Umar Kayam agar lebih mudah dipahami. Bagaimanapun masyarakat Indonesia masih "belum ramah" terhadap opini.

Buku karrya Umar Kayam: Mangan ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Bondho, dan Madhep Ngalor Sugih,-Madhep Ngidul Sugih, yang berisi kumpulan esainya yang diterbitkan di Harian Kedaulatan Rakyat, merupakan tiga buku favorit saya waktu kecil (Sumber: kagama.co)

Sayangnya cita-cita tersebut (dan beberapa cita-cita lainnya), tidak diikuti dengan usaha untuk mewujudkannya. Berputar-putar saja di kepala. Terngiang-ngiang di telinga. Tidak dimulai karena  terhempas lebih dulu oleh berbagai alasan.

Makanya saya berpikir jangan-jangan minat saya bukan kesana. Jangan-jangan cita-cita yang saya angankan itu bukan yang saya inginkan. ATAU cita-citanya sudah sesuai, tapi cara yang saya tau untuk mencapai cita-cita tersebut tidak sesuai minat saya.

minat/mi·nat/ n kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu; gairah; keinginan.

Saya punya keinginan, tapi saya tidak punya kecenderungan hati yang tinggi terhadap keinginan tersebut. Makanya saya tidak berusaha. Tidak seperti waktu saya berusaha mewujudkan impian masa kecil saya. Dimana secara sadar maupun tidak, saya bela-belain usahakan agar terwujud. Karena memang ingin. Karena memang minat. 

Hal ini yang menjadi alasan saya untuk menemukan minat saya, supaya bisa mencari tahu cita-cita saya, dan atau cara untuk mewujudkan cita-cita saya.
Jangan-jangan sebetulnya minat saya adalah memikirkan segala hal. Bukan mewujudkannya.
Harusnya saya masuk jurusan filsafat kayak Dian Sastro. Biar jadi filsuf sekalian.

Perlu Pemikiran

Di internet bertebaran berbagai cara untuk menemukan passion. Semuanya, kalau saya simpulkan, berputar pada mengenali diri sendiri. Orang yang mengenali dirinya lebih mudah menemukan minatnya. Jadi sepertinya saya belum menemukan minat saya, karena saya belum memahami diri sendiri. Literasi diri saya masih kurang. Padahal literasi diri, kalau menurut Kepala Sekolah anak saya, seharusnya sudah harus dikuasai di usia 21 tahun. Supaya ketika masuk ke dunia luar, sudah paham dengan dirinya. Supaya bisa menavigasi diri dengan lebih percaya diri di dunia luar. Tidak terombang-ambing. Seperti saya.
Sudah hampir selesai masa 30 tahun saya. Periode saya terombang ambing tanpa tahu tujuan setelah menggapai impian masa kecil di usia 20-an. Mungkin sudah saatnya saya mulai lebih serius mencari cita-cita yang bisa diwujudkan. Sebelum penyesalan datang.

Memenuhi keinginan untuk mewujudkan cita-cita. Cita-cita-ception.

Sungguh bakat saya, yang sudah saya sadari sejak lama, adalah cocokologi.




Read more ...